ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) memandang tekanan di dalam output ekonomi Asia sebagai dampak pandemi Covid-19 akan bertahan hingga 2022.
Analisis ini sebagai peringatan tentang prospek pemulihan global setelah pandemi yang menyebabkan ekonomi dunia jatuh paling dalam sejak Depresi Hebat. Menurut IMF, Asia berkontribusi sekitar 68 persen pada pertumbuhan global pada 2019.
Pertumbuhan regional diperkirakan akan meningkat menjadi 6,6 persen tahun depan, tetapi tidak akan cukup untuk menggantikan semua output yang hilang karena krisis.
“Kami memproyeksikan output ekonomi Asia pada tahun 2022 menjadi sekitar 5 persen lebih rendah dibandingkan dengan tingkat yang diprediksi sebelum krisis, dan kesenjangan ini akan jauh lebih besar jika kita mengecualikan China,” kata Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Chang Yong Rhee, mengutip Bloomberg, Rabu (1/7/2020).
Bahkan ketika kebijakan pembatasan dilonggarkan, kegiatan ekonomi tidak mungkin kembali ke kapasitas penuh karena perubahan perilaku individu dan penerapan protokol kesehatan untuk menghindari penularan.
Pekan lalu, IMF memprediksi produk domestik bruto global menyusut 4,9 persen tahun ini, lebih dalam dari kontraksi 3 persen yang diprediksi pada April. Pada 2021, badan tersebut melihat pertumbuhan 5,4 persen, turun dari proyeksi sebelumnya 5,8 persen. Sementara itu, Asia diperkirakan berkontraksi sebesar 1,6 persen tahun ini.
Rhee mengatakan jika pertumbuhan kawasan itu sama negatifnya dengan seluruh dunia, maka perkiraan pertumbuhan global akan sekitar -7,6 persen.
Koordinasi erat antara bank sentral dan kementerian keuangan akan menjadi bagian penting dari respons kebijakan mengingat ruang terbatas untuk meminjam yang dihadapi banyak negara berkembang di Asia.
Opsi kebijakan yang bisa diambil yakni lebih memanfaatkan neraca bank sentral untuk menyalurkan pinjaman ke perusahaan-perusahaan kecil. Kontrol modal sementara mungkin diperlukan jika terjadi arus keluar yang besar.
Sementara arus keluar portofolio dari wilayah tersebut telah stabil, arus keluar bersih dibandingkan dengan krisis keuangan global tetap tinggi. Pemerintah juga perlu mengawasi pinjaman bahkan ketika lebih banyak pengeluaran krisis diperlukan.
“Mereka harus menggunakan stimulus fiskal dalam jangka pendek, tetapi melengkapinya dengan rencana reformasi jangka menengah yang kredibel untuk mengurangi utang yang terkait kekhawatiran. Itu akan membantu mempertahankan peringkat kredit negara,” kata Rhee. (ATN)
Discussion about this post