ASIATODAY.ID, JAKARTA – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengkritik Uni Eropa karena dinilai menerapkan standar berlebihan terhadap CPO Indonesia.
“Uni Eropa sangat berlebihan untuk negara yang masih berkembang seperti Indonesia. Kalau memang Eropa serius melakukan kerja sama, mestinya harus ada penyesuaian terhadap produk CPO Indonesia,” kata dia di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Menurut dia, Uni Eropa harus mengerti karena industri-industri berbasis CPO di Indonesia sedang berpacu melakukan hilirisasi.
Enny memandang, kesuksesan Indonesia melakukan kerja sama CEPA dengan Australia seharusnya bisa menjadi nilai tawar Indonesia dalam perundingan dengan Uni Eropa.
“Ini bargaining juga untuk Indonesia, katakanlah oke silakan terima sawit kami bahkan bisa lebih dalam lagi melakukan hilirisasi bisnis yang berbasis CPO. Karena akan barter dengan berbagai macam misalnya barang-barang dari Eropa untuk masuk ke Indonesia dengan sangat murah,” paparnya.
Hanya saja kata Enny, Indonesia mengalami tekanan karena diancam terus dengan isu pencekalan CPO. Padahal sebelumnya pangsa pasar terbesar CPO Indonesia adalah Uni Eropa. “CPO itu 30 persen ekspornya Indonesia,” tandas Enny.
Sementara itu, delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei yakin hubungan dagang dengan RI akan menguntungkan. Adanya kesepakatan kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/I-EU CEPA) dinilai akan menggenjot ekspor Indonesia.
Mengutip studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Kepala Seksi Perdagangan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei, Raffaele Quarto mengatakan pertumbuhan ekspor Indonesia diproyeksi mencapai US$1 miliar dalam satu tahun setelah kesepakatan diteken.
“CSIS membuat sebuah model ekonomi. Mereka mengestimasi ekspor akan meningkat US$1 miliar dengan kerja sama I-EU CEPA,” terangnya.
Selain itu, kerja sama dagang tersebut diyakini juga akan melindungi nilai transaksi dagang Indonesia ke Eropa. Tanpa I-EU CEPA kata dia, Indonesia berpotensi kehilangan US$2 miliar dari transaksi dagang.
Sebab, sebagai negara berkembang, Indonesia masih mendapatkan fasilitas sistem preferensi umum (Generalized System of Preferences/GSP) dari Eropa. Fasilitas GSP salah satunya mencakup keringanan tarif bea masuk. Namun, seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka GSP dapat kembali dikaji sehingga tidak menutup kemungkinan fasilitasnya akan dicabut.
“Kerja sama ini (I-EU CEPA) dapat memastikan manfaat tarif yang diterima oleh Indonesia ke depan,” imbuhnya.
Tak hanya ekspor, ia menuturkan kerja sama dagang ini bisa menambah investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dari Eropa ke Indonesia. Dalam hal ini, ia meminta pemerintah untuk menyiapkan kebijakan perlindungan investasi, sebagaimana yang ditawarkan oleh negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Vietnam.
“Kalau dibandingkan di Asia Tenggara, mayoritas investasi dari Eropa mengalir kepada Singapura dan Vietnam. Salah satu alasannya karena mereka menawarkan proteksi investasi,” paparnya.
Menurut dia, potensi investasi dari Eropa ke Indonesia meliputi sektor manufaktur, otomotif, Energi Baru Terbarukan (EBT), dan pariwisata. Sementara itu, produk yang berpeluang untuk ditingkatkan ekspornya melalui I-EU CEPA antara lain produk perkebunan dan perikanan.
Saat ini, proses perundingan dagang itu memasuki putaran ke-8. Pembahasannya sendiri sudah mulai sejak 2016 silam. Quarto mengatakan, dua negara sepakat untuk melakukan akselerasi perundingan. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post