ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia sudah cukup terpuruk akibat dibelenggu oleh penyakit kronis bernama Korupsi. Indonesia harus segera bangkit untuk mengakhiri budaya hitam itu.
Merujuk data terakhir Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI) Indonesia bertengger di posisi 85 dari 180 negara di dunia.
Secara global, rata-rata skor CPI dunia berada pada 43 poin. Sebanyak 60 persen atau 120 dari 180 negara yang diukur CPI memiliki skor di bawah 50 termasuk Indonesia.
Selain Indonesia, terdapat lima negara lain yang memiliki skor sama seperti Indonesia, yaitu Burkina Faso, Guyana, Lesotho, Trinidad and Tobago, serta Kuwait.
Indonesia berada di peringkat ke-4 di antara negara Asia Tenggara (ASEAN), setelah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Di tahun 2019, Denmark dan New Zealand berada di tingkat pertama dengan perolehan skor 87, disusul dengan Finlandia di peringkat kedua yang berhasil memperoleh skor 86. Sementara itu, Somalia masih berada di posisi terendah dengan perolehan skor 9.
Presiden Joko Widodo pun dibuat geram dengan budaya korupsi di Indonesia. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 ini, Jokowi mewanti-wanti seluruh jajarannya untuk tidak korupsi.
Menurut Jokowi, untuk mengakhiri korupsi di Indonesia, dibutuhkan perombakan sistem secara besar-besaran.
“Ada tiga agenda besar yang harus diwujudkan dalam aksi pencegahan korupsi di Indonesia, mulai dari pembenahan regulasi nasional, reformasi birokasi, dan peningkatan kampanye literasi antikorupsi di tengah masyarakat,” tegas Jokowi saat berbicara di acara Aksi Nasional Pencegahan Korupsi melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (26/8/2020).
Presiden Jokowi menegaskan, regulasi yang tumpang tindih harus dijadikan prioritas pertama untuk dibenahi.
“Regulasi yang tumpang tindih, tidak jelas, dan tidak memberikan kepastian hukum yang membuat prosedur berbelit-belit, yang membuat pejabat dan birokrasi tidak berani melakukan eksekusi dan inovasi, ini yang harus kita rombak dan kita sederhanakan,” ujarnya.
Semangat pembenahan regulasi tersebut salah satunya tengah dimulai pemerintah melalui omnibus law yang menyinkronisasikan puluhan undang-undang secara serempak sehingga antara undang-undang bisa selaras memberikan kepastian hukum serta mendorong kecepatan kerja dan inovasi dan akuntabel.
Langkah penyederhanaan yang juga sekaligus meningkatkan akuntabilitas tersebut tentunya akan meningkatkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
“Kita akan terus melakukan sinkronisasi ini secara berkelanjutan dan jika bapak atau ibu menemukan adanya regulasi yang tidak sinkron, yang tidak sesuai dengan konteks saat ini, berikan masukan pada saya,” kata Presiden.
Namun, Jokowi mengingatkan kepada penegak hukum dan pengawas untuk tidak memanfaatkan hukum atau regulasi yang saat ini belum sinkron tersebut untuk menakut-nakuti pengambil kebijakan dan pelaksana.
“Penyalahgunaan regulasi untuk menakut-nakuti dan memeras inilah yang membahayakan agenda pembangunan nasional yang seharusnya bisa kita kerjakan secara cepat, kemudian menjadi lamban dan bahkan tidak bergerak karena adanya ketakutan-ketakutan itu,” tuturnya.
Agenda besar yang kedua ialah mengenai reformasi birokrasi. Presiden mengatakan, organisasi birokrasi yang terlalu banyak jenjang dan divisi harus segera disederhanakan tanpa mengurangi pendapatan dan penghasilan dari para birokrat.
“Karena terlalu banyak eselon akan semakin memperpanjang birokrasi, memecah anggaran dari unit-unit kecil yang sulit pengawasannya, dan anggaran akan habis digunakan untuk rutinitas saja,” imbuh Presiden.
Presiden mengingatkan, reformasi birokrasi juga erat kaitannya dengan perizinan dan tata niaga yang juga harus memperoleh perhatian khusus.
“Sebab, yang berkepentingan terhadap perizinan bukan hanya pelaku usaha besar, tetapi juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 60 juta dan menjadi penopang utama perekonomian nasional kita,” jelasnya.
Maka itu, sistem perizinan dan tata niaga yang memberi kesempatan bagi para pengambil rente harus segera dirombak dengan salah satunya menerapkan penyederhanaan birokrasi dan pemanfaatan teknologi informasi yang semakin meningkatkan transparansi dan kemudahan bagi masyarakat. Apalagi tata niaga yang menyangkut fondasi kehidupan masyarakat terutama yang berkaitan dengan pangan, obat, dan energi.
“Yang menjadi korban akhir dari tata niaga yang tidak sehat itu adalah rakyat. Rakyat harus menanggung harga yang mahal akibat dari tata niaga yang tidak sehat,” ujarnya.
Adapun kampanye terhadap literasi antikorupsi, yang menjadi agenda besar ketiga, harus bersama-sama digalakkan. Masyarakat harus dapat menyadari mengenai apa itu korupsi, gartifikasi, hingga kepatutan dan kepantasan yang kemudian menjadi budaya keseharian.
“Takut melakukan korupsi bukan hanya terbangun atas ketakutan terhadap denda dan penjara. Takut melakukan korupsi juga bisa didasarkan pada ketakutan kepada sanksi sosial, takut dan malu kepada keluarga, tetangga, dan kepada Allah SWT,” imbuhnya.
Terakhir, Jokowi mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menyamakan visi dan menyelaraskan langkah untuk melaksanakan tiga agenda besar tersebut dan membangun pemerintah yang efektif, efisien, inovatif, sekaligus bebas dari korupsi. (ATN)
Discussion about this post