ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia mulai bergerak cepat memburu para pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bersembunyi di Singapura.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, dana BLBI yang dikejar oleh Pemerintah Indonesia mencapai Rp 110,45 triliun.
Gerak cepat itu usai Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong menandatangi Perjanjian Ekstradisi antar kedua negara pada Selasa (25/1/2022) lalu.
Perjanjian ekstradisi yang progresif, fleksibel, dan antisipatif tersebut sangat penting bagi penanganan perkembangan bentuk dan modus tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemberlakuan masa berlaku surut atau retroaktif hingga 18 tahun terhadap tindak kejahatan yang berlangsung sebelum berlakunya perjanjian ini juga telah disepakati bersama.
Menurutnya, keberadaan aturan tersebut akan sangat membantu penanganan kasus kejahatan di Indonesia, salah satunya kasus BLBI yang kini tengah diselesaikan pemerintah.
“Dengan berlakunya perjanjian ini, Indonesia akan mampu menuntaskan pelaku kejahatan di masa lampau dan siap untuk mengimplementasikan Keputusan Presiden terkait Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI,” ujar Luhut dikutip keterangan tertulis, Kamis (27/1/2022).
Hal senada juga disampaikan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.
Menurutnya, ruang lingkup Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta.
Buronan itu kemudian bisa dibawa ke negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
“Perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,”ungkapnya.
Selain itu, dengan adanya Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam) Mahfud MD mengungkapkan bahwa, pemerintah akan memanggil seluruh debitur dan obligor yang berjumlah 48 orang. Adapun jumlah total utang mereka terhadap negara disebut mencapai Rp 111 triliun.
“Di atas itu banyak yang utangnya belasan triliun, Rp 7,-8 triliun yang totalnya itu Rp 111 triliun,” terang Mahfud dalam siaran video yang dibagikan.
Namun, Mahfud belum merinci siapa saja pengutang yang akan dipanggil terkait kasus BLBI ini, dan hanya mengatakan mereka kini berada di Singapura, Medan, Bali, dan tempat lainnya. Dia berharap utang 48 obligor dan debitur BLBI kepada negara bisa lunas sebelum masa tugas Satgas habis pada 2023.
“Kalau selesai sebelum itu ya bagus, mungkin nanti akan ada efek pidananya dan sebagainya,” ujar Mahfud.
Panggil Satgas BLBI
Untuk menindaklanjuti kesepatan ekstradisi antara Indonesia dan Singapura ini, Komisi XI DPR RI akan segera memanggil Satgas BLBI.
“Komisi XI DPR akan segera menjadwalkan kembali Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangans terkait perkembangan penanganan yang dilakukan Satgas BLBI,” kata Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto usai menutup rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, terkait evaluasi dan capaian kinerja tahun 2021 dan rencana kerja tahun 2022, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (26/1/2022).
Selain itu, kata politisi Partai Golkar tersebut, Komisi XI DPR menyetujui DJKN agar mengoptimalkan pengurusan piutang negara melalui rekonsilisasi dan pemutakhiran data piutang negara pada Kementerian dan Lembaga dan BUN serta penguatan database piutang negara sebagai tools untuk melakukan pengelolaan piutang negara.
Lebih jauh Dito mendorong DJKN agar melakukan penyempurnaan roadmap pengelolaan investasi pemerintah kepada BUMN/lembaga untuk meningkatkan optimalisasi pengelolaan BUMN/Lembaga dalam melaksanakan dan mendukung program prioritas nasional.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban mengakui perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura menjadi senjata baru bagi pemerintah untuk bisa menagih atau mengejar obligor/debitur BLBI yang tinggal dan bahkan pindah kewarganegaraan ke Singapura.
“Beberapa hal yang tidak bisa diselesaikan, dengan perjanjian ekstradisi tersebut, kita bisa selesaikan karena beberapa obligor ini ada yang menetap di Singapura,” jelas Ketua Satgas Hak Tagih BLBI itu kepada Komisi XI DPR RI.
Rionald mengaku perjanjian ini akan sangat mempermudah tugas pemerintah melakukan penagihan hak negara. Apalagi, memang banyak obligor/debitur BLBI yang pindah ke Singapura usai krisis keuangan 1997/1998 silam.
Menurutnya, yang paling menyulitkan selama ini adalah, pengemplang dana BLBI tersebut tidak hanya menetap di Singapura tetapi juga mengganti status kenegaraannya. Sehingga jika tidak ada perjanjian ini akan sulit melakukan penagihan.
“Jadi kami besar hati sekali dan mudah-mudahan ini jadi salah satu upaya sehingga satgas BLBI bisa menggunakan apa yang telah diupayakan pemerintah yaitu ekstradisi tersebut,” pungkasnya.
Sejarah Panjang Kasus BLBI
Kasus BLBI ini bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter. Saat itu, sejumlah bank mengalami masalah likuiditas yang membuat nilai tukar rupiah terDepresiasi sangat dalam hingga Rp 15 ribu per dolar AS. Kejatuhan rupiah ini membuat utang valuta asing (valas) perbankan membengkak.
Pada Desember 1998, Bank Indonesia kemudian menyalurkan dana bantuan senilai Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, dana BLBI justru banyak diselewengkan oleh para penerimanya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000, ditemukan kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.
Selang 2 tahun pada 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002. Itu jadi landasan pemerintah mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para debitur BLBI yang telah melunasi kewajiban, yakni melalui penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN, atau menindak secara hukum bagi yang tidak melaksanakan kewajiban.
Vonis perdana bagi terdakwa kasus BLBI terjadi pada 2003, yang menjerat oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank, seperti Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, hingga Paul Sutopo Tjokronegoro yang dijebloskan ke penjara.
Sementara dari pihak penerima dana, sederet nama juga mulai diperiksa dan diadili hingga berlanjut menerima vonis bersalah. Salah satunya Sjamsul Nursalim bersama sang istri Itjih Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Keduanya diduga jadi pihak yang diperkaya dalam kasus BLBI, dan terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kesediaannya untuk bantu mengusut kasus BLBI pada 2008, dan memulai proses penyelidikan terhadap proses pemberian SKL kepada para pengutang per 2013.
Hasilnya, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dijerat dan diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Tak sampai setahun, Arsyad yang divonis 15 tahun penjara pada September 2018 resmi bebas dari rumah tahanan (rutan) KPK pada 9 Juli 2019, menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasinya.
Pasca penyelesaian masalah yang tak kunjung tuntas tersebut, pemerintah yang di pimpin Presiden Jokowi pun menugaskan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara untuk menuntaskan kasus BLBI ini. (ATN)
Discussion about this post