ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia secara bertahap mulai mengubah paradigm dan orientasi bisnis industry kehutanan.
Selain untuk menekan laju deforestasi, perubahan ini juga sebagai langkah strategis dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Dalam konteks ini, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memainkan peran sentral.
“Saat ini, kita telah menjalani dan merasakan bersama perubahan-perubahan dengan aktualisasi pergeseran paradigma dari Timber management menuju forest landscape management yang berimplikasi pada tata bisnis perusahaan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Pada Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Tahun 2021, Selasa, (7/12/2021).
Menurut Menteri Siti, di masa depan dukungan APHI untuk mewujudkan reorientasi bisnis baru sektor kehutanan, sangat dibutuhkan sehingga pelaku usaha dapat berkontribusi optimal dalam pembangunan kehutanan.
“Kerjasama yang terjalin baik antara Pemerintah dan dunia usaha di sektor kehutanan telah mampu menghasilkan capaian-capaian terbaik, seperti angka deforestasi tahun 2020 menjadi yang terendah sepanjang sejarah, kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pun dapat ditekan sangat rendah pada periode tahun 2019 – 2020, serta tetap meningkatnya kinerja sub sektor kehutanan di tengah kondisi Pandemi Covid 19 yaitu meliputi produksi kayu bulat, kayu olahan, HHBK, dan nilai ekspor produk kehutanan,” jelasnya.
Nilai ekspor produk kehutanan secara akumulatif dibanding tahun 2020 lalu meningkat mencapai 21,43 persen, dimana hingga pada kuartal keempat tahun 2020, yaitu dari sebelumnya USD11,05 juta menjadi USD13,42 juta pada awal kuartal keempat tahun 2021.
Sementara, produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada kuartal keempat Tahun 2020, yaitu 130 ribu ton, dan kuartal keempat tahun 2021 yaitu 192 ribu ton, secara akumulatif meningkat 47,60 persen.
Pada kesempatan itu, menteri Siti mendorong dunia usaha dapat mengatasi tantangan kedepan, seperti implementasi ekonomi hijau, serta tata kelola bentang alam sebagai antisipasi dan solusi terjadinya disharmoni antara pemanfaatan dan daya dukung sumberdaya.
“Pendekatan bentang alam berbasis DAS dapat digunakan dalam kalkulasi orkestrasi secara berdayaguna, karena hubungan kausalitasnya jelas dan terukur dan dapat digunakan untuk membangun pemahaman dan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam internalisasi prinsip-prinsip ekonomi hijau kedalam program pembangunan wilayah dan dinamika penghidupan masyarakat. Secara operasional KLHK telah membangunnya dalam bentuk produk perencanaan yakni Rencana Pengelolaan DAS Terpadu,” jelas Menteri Siti.
Dunia usaha sektor kehutanan juga didorong untuk dapat mengakselerasi aksi penurunan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Melalui visi yang disampaikan di dokumen tersebut, Indonesia akan meningkatkan ambisi pengurangan GRK melalui pencapaian puncak emisi GRK nasional tahun 2030, dimana sektor-sektor Forestry and Other Land Use (FoLU) sudah mencapai kondisi net sink, dengan capaian 540 Megaton CO2 ekuivalen pada tahun 2050, dan dengan mengeksplorasi peluang untuk mencapai progres lebih cepat menuju emisi net-sink dari seluruh sektor pada tahun 2060.
Diproyeksikan sektor FoLU akan berkontribusi hampir 60 persen dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin diraih oleh Indonesia.
Sementara itu Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan anggota APHI akan terus berkomitmen mendukung program pemerintah. APHI juga mendorong anggotanya dan juga pemerintah untuk membantu mengkonfigurasikan ekosistem bisnis baru kehutanan yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Menurut Indroyono, masih banyaknya potensi hasil hutan Indonesia yang belum terkelola dengan baik.
“Saat ini, baru 5% potensi yang dimanfaatkan, artinya masih 95% lagi potensi yang belum dimanfaatkan secara terencana,” ujarnya.
Dikatakan, reorientasi menuju bisnis baru kehutanan salah satunya dilakukan dengan pemanfaatan ruang, bukan hanya kayu. Dengan reorientasi ini maka jasa-jasa ekosistem hutan dapat lebih dioptimalkan pemanfaatnnya yang saat ini didukung secara kebijakan oleh pemerintah melalui multi usaha kehutanan. (ATN)
Discussion about this post