ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia dan China baru saja menyepakati pembaruan kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) saat Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, di Villa 14, Diaoyutai State Guesthouse, Beijing, Selasa (26/07/2022).
Selain BRI, dalam pertemuan itu, kedua pemimpin juga menyepakati 6 agenda kerja sama lainnya.
Adapun ketujuh kerja sama Indonesia dan China tersebut yakni; (1) Pembaruan Nota Kesepahaman (MoU) Sinergi Poros Maritim Dunia dan Belt Road Initiative (2) MoU Kerja sama Pengembangan dan Penelitian Vaksin dan Genomika, (3) MoU mengenai Pembangunan Hijau, (4) Pengaturan Kerja Sama Kelautan, (5) Protokol mengenai Ekspor Nanas Indonesia, (6) Pengaturan Kerja Sama Pertukaran Informasi dan Penegakan Pelanggaran Kepabeanan, (7) Rencana Aksi Kerja Sama Pengembangan Kapasitas Keamanan Siber dan Teknologi.
Peneliti Jepang Masako Kuranishi dari universitas Tsurumi dan universitas Seigakuin Jepang mengingatkan Indonesia agar sangat hati hati terhadap gerakan China di Asia terutama di Indonesia.
“Indonesia harus cerdas dan hati-hati jangan sampai salah langkah kalau tak mau Indonesia berantakan nantinya gara gara China,” ujarnya.
Sejak 2013, China punya ambisi dan rencana besar terhadap Asia, yaitu Maritime Silk Road atau sering dijuluki One Belt One Road, sebuah ide yang di lemparkan oleh Xi Jinping.
Hegemoni China terhadap negara negara di Asia
Di Indonesia akan dimulai dengan penguasaan Kereta Api, dimana daerah yang dilewati akan dikuasai China. Awal kerja patungan 60 % Indonesia dan 40 % China. Agenda tersembunyi bahwa China yakin Indonesia akan susah membayar dan ahirnya penguasaan mayoritas akan beralih ke pihak China.
Demikian juga tenaga kerja (sejak awal sudah dirancang) akan didatangkan dari China. Gesekan dengan warga pribumi mereka sudah siap. China siap memberikan pinjaman yang sangat besar ke Indonesia.
Kuranishi sampai heran Indonesia mau menerima pinjaman tersebut, dengan bunga 2%, padahal Jepang bisa memberikan pinjaman dengan bunga 1% / tahun.
China dengan bermuka manis sengaja memberikan pinjaman karena China tahu persis Indonesia akan kesulitan mengembalikan pinjamannya, sehingga akan lebih mudah dikendalikan dan dikuasai menyangkut sumber ekonominya.
Bahkan sejak awal China sudah mempersiapkan sebuah tindakan yang diperlukan apabila di Indonesia sampai timbul kerusuhan anti China.
Kemudian masuklah proyek infrastruktur dari China mulai dari pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara ( bandara ), pembangunan jalan sepanjang 1000 km, jalan kereta api 8.700 meter, pembangunan tenaga listrik berkapasitas 35.000 Mega Watt.
Itu terjadi setelah Jokowi pidato di KTT APEC di Beijing 8-12 Nopember 2014 meminta negara negara pasifik menanamkan modalnya di Indonesia. Peluang itu langsung ditangkap oleh China yang sejak abad ke 13 sudah berambisi ingin menguasai Nusantara.
Presiden Jokowi pada 25-27 Maret 2015, mengkongkritkan rencana pinjaman dan pembangunan yang dijanjikan China. Delapan nota kesepakatan China – Indonesia disetujui. Dan pada tanggal 27 Mei 2015 Wakil Perdana Menteri China datang ke Indonesia. Bahwa China akan mempererat kerjasama di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan.
Utang Indonesia ke China Rp326,7 triliun
Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri (SULNI) kepada China mencapai USD21,7 juta atau sekitar Rp326,7 triliun.
Jumlah ini menempati peringkat keempat; lebih kecil dari pinjaman Jepang, Amerika Serikat (AS) dan yang terbesar dari Singapura. Jepang bahkan pernah memberi pinjaman senilai lebih dari dua kali lipat dari jumlah yang diberikan China sekarang.
Menurut pengamat ekonomi Center of Economic and Law Studies atau CELIOS, Bhima Yudhistira, ada banyak faktor yang membuat Indonesia tertarik dengan pinjaman dari China.
“Yang pertama, tenor utangnya jangka panjang. Kedua, secara bunga jauh lebih rendah dibandingkan kompetitor di negara lain, kata Bhima kepada BBC Indonesia.
“Kajian awal terhadap proyeknya juga tidak dilakukan seketat kreditur lainnya. Misalnya dibandingkan dengan lembaga multilateral seperti bank dunia atau Asian Development Bank, penilaian awal mereka relatif sangat detail dan ini dianggap memakan waktu terlalu lama, kata Bhima.
Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dari China menjadikan standar lingkungan, sosial, dan pemerintahan relatif dikesampingkan dan tidak menjadi syarat utama pinjaman dan hanya bersifat pelengkap.
“Di sinilah pinjaman China itu dianggap easy to get.‘ Mudah prosesnya dibanding pinjaman dari kreditur lainnya. Tapi cara-cara pinjaman dengan penilaian ataupun perencanaan yang sudah bermasalah dari awal, yang penting prosesnya cepat,” kata Bhima.
“Ya ini ternyata menimbulkan banyak problem dalam proses maupun dalam penyelesaiannya,”.
Menurut Bhima, meski yang mengambil pinjaman adalah BUMN, jika ada kendala maka resiko tetap ditanggung pemerintah atau APBN.
Utang non-pemerintah menjadi salah satu faktor yang membuat Sri Lanka berada di titik kebangkrutan.
“Sri Lanka, Laos juga yang terdekat, kata Bhima.
“Mereka konsepnya adalah hutang dengan B to B memang. Membentuk konsorsium dan kemudian utang itu sebagian besar digunakan untuk proyek infrastruktur yang memang perencanaannya dari awal sudah bermasalah dan dipaksakan seperti Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka, kata Bhima.
“Ketika gagal bayar, ada konsesi yang diberikan kepada China maupun BUMN China, dalam jangka yang sangat panjang [pelabuhan] dikelola mereka,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post