ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berhasil menggalang dukungan politis dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang (least developed countries/LDCs) untuk menyepakati isu-isu pertanian yang akan menjadi Paket Kebijakan dalam Koferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-12 yang akan digelar akhir tahun ini.
Kesepakatan dilakukan mencapai melalui Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) G33, yang berlangsung secara virtual pada Kamis (16/9/2021). Pertemuan yang digagas Indonesia ini dilaksanakan setelah perundingan tentang isu pertanian dengan WTO menuai jalan buntu.
“Konsolidasi G33 diperlukan untuk menyelesaikan isu prioritas WTO dan mencari jalan keluar tentang ketahanan pangan (food security) pada isu stok pangan (Public Stockholding/PSH), instrumen pengamanan impor produk pertanian pada Special Safeguard Mechanism (SSM), dan pemotongan subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan,” jelas Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi, dikutip Sabtu (18/9/2021).
Pertemuan ini merupakan inisiatif Indonesia sebagai koordinator kelompok G33 dan dihadiri para Menteri terkait perdagangan, Wakil Menteri, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, para Duta Besar, dan para pejabat senior negara anggota G33.
Menurut Mendag, pertemuan ini menjadi momentum terbentuknya soliditas kelompok negara berkembang dan LDCs G33 di WTO untuk menyukseskan tercapainya kesepakatan isu pertanian pada KTM WTO ke-12.
“Perjuangan G33 ini adalah bentuk usaha melindungi kepentingan petani kecil dan miskin di negara berkembang, mewujudkan ketahanan pangan, keamanan penghidupan (livelihood security), dan pembangunanpedesaan (rural development). Saat ini, negara maju masih memberikan subsidi dengan nilai yang cukup tinggi kepada petani sehingga mendistorsi perdagangan global,” imbuh Mendag.
Perwakilan negara G33 secara umum menyampaikan pandangan agar negara berkembang dan LDCs diberikan policy spacedalam menjamin ketahanan pangan dan untuk mempertahankan pertanian skala kecil yang digunakan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat miskin. Pandangan tersebut yang diharapkan menjadi paket kebijakan pada KTM WTO ke-12.
Mendag Lutfi juga menyampaikan, Indonesia menekankan pentingnya mekanisme yang bersifat adil dan transparan bagi semua anggota WTO dan pemberlakuan perlakuan khusus untuk negara berkembang dan LDCs saat kondisi krisis seperti kelaparan, bencana alam, dan perubahan iklim.
Hal ini menurut G33 menjadi alasan masih diperlukannya subsidi yang dapat diberikan bagi kelompok petani kecil dan miskin. Dirjen WTO Ngozi menyampaikan, KTM 12 mendatang menjadi penentu kredibilitas WTO dan keberhasilan negosiasi pertanian di KTM 12 akan bergantung pada kesolidan negara anggota G33 untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan negosiasi pertanian.
“G33 perlu menyiapkan strategi utama dan cadangan jika kebuntuan masih terjadi untuk mencari terobosan,” jelas Ngozi.
Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Djatmiko Bris Witjaksono, meskipun respons mayoritas anggota WTO terhadap SSM minim, instrumen tersebut tetap perlu dipertahankan. Hal ini dikarenakan merupakan mandat Doha Development Agenda untuk melindungi produk pertanian karena fluktuatifnya harga pangan dan rawan banjir impor. Selain itu, instrumen ini juga dibutuhkan di saat pandemi.
“Terobosan dalam perundingan SSM dibutuhkan agar modalitas SSM lebih realistis dengan mengakomodasi berbagai kepentingan, namun tetap memberikan beberapa kelonggaran bagi negara berkembang dan LDCs,” terang Djatmiko.
Duta Besar Indonesia untuk WTO Dandy Satria Iswara menjelaskan, bagi Indonesia, disepakatinya instrumen SSM dan PSH di WTO akan memberikan ruang kebijakan yang lebih besar kepada pemerintah.
“Nantinya, hal itu dapat digunakan untuk menjalankan berbagai kebijakan untuk mewujudkan keamanan dan kedaulatan pangan, serta pengurangan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan petani kecil dan miskin,” pungkas Dubes Dandy. (ATN)
Discussion about this post