ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia dinilai terlambat dalam memanfaatkan batu bara sebagai salah satu sumber pembangkit listrik.
Dibanding negara lain seperti Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Australia, Indonesia jauh tertinggal. Negara-negara tersebut lebih banyak telah memanfaatkan uap batu bara sebagai sumber energi listrik yang murah.
Padahal dengan produksi batu bara mencapai 539 juta short tons, konsumsi Indonesia hanya 115 juta short tons saja tahun lalu. Bahkan road map Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan pemanfaatan batu bara dalam bauran energi nasional hanya 30 persen di 2025, lalu diturunkan lagi menjadi 25 persen di 2050.
Selain konsumsi yang tertinggal pemanfaatan limbah batu bara juga kalah dibandingkan negara lain. Di AS, India, Tiongkok, dan Jepang sama-sama menyerap fly ash, bottom ash, dan gipsum sebagai bahan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, dan sebagainya.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Hendra Sinadia, limbah batu bara di negara lain tidak dianggap sebagai bahan berbahaya dan beracun atau limbah B3. Limbah batu bara, abu batu bara bisa digunakan untuk bahan konstruksi di berbagai negara.
“Cuma di Indonesia saja dianggap sebagai B3. Ini kan jadi masalah. Padahal di negara-negara lain seperti di Jepang, limbah batu bara itu dijadikan bahan konstruksi, bahan bendungan, jalan. Jumlahnya besar, bisa dimanfaatkan sebenarnya,” terang Hendra, dalam keterangannya, Sabtu (7/12/2019).
Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menyebutkan, kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batu bara tidak menimbulkan masalah lingkungan. Hal ini sebagaimana terjadi di PLTU Paiton yang sudah berdiri sejak 1994 sebagai salah satu PLTU terbesar dan penyuplai listrik terbesar di daerah Jawa-Bali.
“Dia hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Kami beberapa kali ke sana, sejauh ini keluhannya tidak ada. Masyarakat malah sangat senang dengan kehadiran PLTU ini karena menjadi penopang ekonomi warga sekitar. Lalu terumbu karang dan biota-biota laut yang ada hidup di sekitar itu dan tidak terganggu dengan kehadiran PLTU itu,” jelasnya.
Menurut Ferdy, manajemen Paiton sedari awal sudah mengukur efek dan dampak jika terjadi kerusakan lingkungan hidup dari keberadaan PLTU itu. Jika sejak kajian awal sudah merusak lingkungan, maka sudah pasti tidak akan diberi izin AMDAL oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Hal serupa juga terjadi pada PLTU unit 1 dan 2 di Cirebon. PLTU unit 1 Cirebon dengan kapasitas 660 megawatt dan akan dikembangkan ke unit 2 menjadi 1.000 megawatt selama ini mengadopsi teknologi yang sama untuk menjaga agar tidak mencemarkan lingkungan.
Meski secara teoritis batu bara mengandung karbon yang tinggi dan unsur polutannya besar, dirinya menambahkan, risiko itu bisa diminimalisir dengan manajemen yang mengelola PLTU dengan baik. Pengelolaan PLTU harus benar benar dikawal oleh Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Kementerian ESDM.
“Sejalan dengan pertimbangan tersebut di atas, oleh karenanya maka setiap PLTU yang ada di Indonesia sudah dilengkapi dengan Super Critical Represitator untuk me-reduce dan meminimalisasi sebaran fly ash, buttom ash,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post