ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri digital global saat ini dikuasai hanya dua negara, Amerika Serikat (AS) dan China.
Menurut Digital Economy Report 2019 oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang dirilis Sabtu (22/8/2020), AS dan China menguasai sekitar 90 persen nilai pasar dari 70 platform digital terbesar di dunia dan memiliki sekitar 75 persen dari semua paten terkait dengan teknologi blockchain.
Selain itu, kedua negara juga bertanggung jawab atas sekitar 50 persen pengeluaran global untuk Internet of Things (IoT) dan mendominasi 75 persen pasar komputasi awan.
Dominasi dua negara ini tentu jadi tantangan negara-negara di dunia.
Head of Telecom, Media & Technology Research, DBS Bank Singapore Sachin Mittal memandang, persaingan digital didominasi oleh pemain dengan akses ke data konsumen atau big data, yang menghalangi pemain lokal yang lebih kecil untuk berkembang.
“Tidak seperti raksasa digital, pesaing yang kecil dan pemain lama tradisional tidak memiliki akses ke data pelanggan,” kata Sachin.
Misalnya, perusahaan mesin pencarian (search engine) disinyalir lebih mengutamakan layanannya sendiri dibandingkan layanan pesaingnya, atau beberapa pemain perdagangan elektronik yang menggunakan algoritma data mereka untuk mengutamakan barang mereka sendiri dibandingkan produk penjual pihak ketiga.
Saat ini, perusahaan teknologi besar sedang disoroti untuk memastikan apakah mereka secara tidak fair menggunakan aplikasi toko mereka untuk merugikan pesaing. Tak berhenti sampai di situ, perusahaan teknologi besar seringkali melakukan akuisisi terhadap pesaing lebih kecil. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari potensi ancaman dari pesaing baru.
“Salah satunya adalah Facebook yang mengakuisisi saingannya, Instagram, pada 2012, diikuti oleh WhatsApp pada 2014. Akibatnya, akuisisi para startup lokal sejak dini yang banyak dilakukan oleh pemain besar menghalangi terciptanya efisiensi pasar,” jelasnya.
Pengaturan platform digital kata dia, harusnya mendapat perlakuan yang sama, di mana perlu adanya evaluasi kekuatan dan kelemahan masing-masing negara sebelum akhirnya menetapkan aturan.
Beda negara tentu berbeda pula masalah serta aturan yang dapat menyelesaikannya. Untuk mengatasi masalah seputar inefisiensi dalam hal akses ke data, Sachin menyarankan pendekatan yang fokus pada tiga hal yaitu privasi data, lokalisasi data, dan/atau data universal.
“Pada Mei 2018, Uni Eropa (UE) memperkenalkan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) untuk menyelaraskan undang-undang privasi data seluruh anggotanya. Hingga saat ini, sekitar 120 negara telah memberlakukan undang-undang perlindungan data dan sekitar 40 negara serta yurisdiksi belum merampungkan RUU mereka,” terang Sachin.
Meskipun melindungi privasi data, Sachin memandang peraturan tegas dan pukul rata tanpa pandang bulu tak jarang memperburuk efisiensi pasar, merugikan perusahaan lebih kecil tetapi secara tidak langsung menguntungkan raksasa digital.
“Sebagai bagian integral dalam bisnis, penghentian praktik pengumpulan data memberikan tekanan pada pemain lebih kecil yang khawatir dianggap tidak taat pada peraturan,” jelasnya.
Selain privasi data, lokalisasi data juga perlu diperhatikan. Setiap negara perlu melakukan lokalisasi data. Beberapa negara, seperti Vietnam, berusaha untuk mengatasi ketidakefisienan melalui persyaratan lokalisasi data dan mewajibkan perusahaan platform digital untuk beroperasi dengan membuka kantor lokal di negara tersebut.
“Tidak hanya mendorong pembangunan beberapa pusat data, kebijakan tersebut juga menciptakan lapangan pekerjaan, menguntungkan perekonomian, serta memudahkan pemungutan pajak,” ujarnya.
Dengan partisipasi media sosial yang tinggi, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia berkembang pesat selama satu dekade terakhir. Dengan kehadiran enam unicorn di Indonesia, yaitu Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, OVO, dan JD.ID, tak heran apabila ekonomi digital Indonesia saat ini menjadi yang terbesar.
Tidak hanya yang terbesar, Indonesia juga paling cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara, meski belum memiliki peraturan tentang perlindungan data pribadi. Berbekal potensi tersebut, jika Indonesia menerapkan aturan akses data universal, atau pembebasan data publik dengan biaya tertentu, maka perusahaan lokal dapat mengejar ketertinggalan.
“Yang paling penting, membantu mengurangi kesenjangan dan mengatasi tantangan lokal yang kurang relevan bagi pemain global,” imbuhnya.
Kendati terlihat sederhana, raksasa digital memiliki kekuatan keuangan untuk melobi regulator agar mengeluarkan peraturan yang menguntungkan mereka. Oleh karena itu, untuk menstimulasi langkah tepat, banyak negara berkembang tak terkecuali Indonesia membutuhkan dukungan dari Eropa, Jepang, badan regional serta organisasi multilateral.
“Jika tidak, kekuatan melobi platform digital besar tampaknya sulit dikalahkan,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post