ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri manufaktur Indonesia mendapat sorotan tajam. Pasalnya, sektor ini dinilai tidak berkonstribusi siginifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan grafiknya cenderung stagnan dan menurun tajam.
Menurut Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun menjadi 18,3% di kuartal III 2022, padahal di tahun 2021 kontribusinya masih berada di level 29,1%. Hal ini menyebabkan adanya indikasi bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi dini.
“Bandingkan dengan negara lain, peranan industri kita ke PDB merosot tajam dari level 29% dan tahun lalu 18,3% sampai kuartal III. Sehingga ada gejala deindustrialisasi dini di sektor industri manufaktur kita yang mengalami perlambatan sebelum mencapai waktunya atau titik optimumnya,” jelas Faisal dalam diskusi publik Indef bertajuk Catatan Awal Tahun 2023, Kamis (5/1/2022).
Dengan situasi ini, Faisal Basri memperkirakan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB Indonesia bisa dilewati oleh negara Vietnam, dan juga masih di bawah negara China, Korea, Thailand dan Malaysia. Padahal, sektor industri merupakan pembentuk kelas menengah yang kuat.
“Jika industri melemah, kelas menengah jadi memble, sehingga lapisan buruh formal relatif sedikit. Akibatnya karena struktur manufaktur lemah sebabkan yang kita bisa jual ke luar juga terbatas. Manufakturnya jadi makin tergantung ekspor komoditas,” tuturnya.
Salah satu dampak dari timbulnya deindustrialisasi yakni lapangan pekerjaan akan menyempit akibat menurunnya skala industri sehingga akan berujung pada meningkatnya pengangguran hingga kemiskinan.
Karena itu, Faisal Basri mendesak pemerintah untuk terus berupaya mendorong sektor manufaktur agar terus menggeliat guna meningkatkan kontribusinya terhadap PDB dan meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut.
“Struktur ekspor Indonesia jomplang dibandingkan negara lain, karena negara lain menggunakan otak, kita (Indonesia) hanya menggunakan otot. Bahkan manufakturnya itu less diversifikasi, jadi industri kita melambat sangat bergantung ke segelintir sub sektor industri yakni makanan minuman dengan kontribusi hampir 40% sendiri ditambah industri kimia dan farmasi dan herbal itu menyumbang 50% dari total industri manufaktur non migas,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, Purchasing Managers’ Index (PMI) IHS Markit manufaktur tercatat 50,9 poin naik dari November 50,3 poin. Dalam rilis bulanan IHS Markit dari S&P Global menyebutkan, sektor manufaktur Indonesia terus berekspansi di penghujung 2022.
Kenaikan permintaan telah mendukung kenaikan output lebih lanjut, dan juga kenaikan aktivitas pembelian dan ketenagakerjaan.
“PMI konsisten dalam enam belas bulan berturut-turut perbaikan kesehatan sektor manufaktur Indonesia. Tingkat pertumbuhannya merupakan yang paling kuat sejak Oktober, meski hanya pada kisaran marginal secara keseluruhan,”demikian laporan PMI oleh S&P Global, yang dikutip Senin (2/1/2022).
Kenaikan permintaan pada Desember terutamanya terjadi pada pasar domestik, sebab permintaan asing kembali turun karena terbebani oleh penurunan kondisi perekonomian global. Akan tetapi tingkat penurunan permintaan baru internasional jauh lebih lambat dibandingkan bulan November.
Di tengah ekspansi permintaan, penumpukan pekerjaan terakumulasi pada laju yang sedikit lebih cepat dibandingkan pada bulan November. Meski demikian, hambatan pasokan yang masih terjadi, kinerja pemasok kembali menurun pada bulan Desember.
“Cuaca buruk dan gangguan pasokan menyebabkan waktu tunggu pesanan mengalami perpanjangan pada bulan Desember. Untuk menangani pertumbuhan beban kerja yang ada dan pesanan baru, perusahaan manufaktur Indonesia melakukan ekspansi pada jumlah kerja mereka selama enam bulan berturut-turut pada bulan Desember,” demikian laporan itu. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post