ASIATODAY.ID, JAKARTA – Hasil riset Bain & Company report ‘The Future of Retail in Asia-Pacific: How to Thrive at High Speed’, perdagangan online di Asia Pasifik tumbuh signifikan, hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan rata-rata global.
Kawasan Asia Pasifik berkontribusi hingga tiga perempat dari pertumbuhan ritel global dan sekitar dua pertiga dari pertumbuhan ritel online sepanjang 2014-2019.
Sepanjang 2014-2019, penetrasi online di kawasan Asia Pasifik naik dari 9 persen menjadi 19 persen, sedangkan rata-rata dunia hanya tumbuh 6 persen menjadi 11 persen.
“Pandemi Covid-19 telah mempercepat disrupsi yang mempengaruhi sektor ritel, tetapi industri sudah beralih ke inovsi digital dan e-commerce,” kata peneliti Bain & Company, Melanie Sanders, dalam keterangan tertulis, Kamis (20/8/2020).
Pasar di Asia Pasifik mampu melewati tahapan pengembangan yang dilalui oleh Amerika Serikat dan Eropa sehingga membuat kawasan ini menjadi mesin pertumbuhan industri dan semuanya berkonsep digital.
Sejumlah produk super apps dari perusahaan digital raksasa juga lahir dari Asia Pasifik Antara lain WeChat, Paytm, Gojek, dan Taobao.
Riset ini juga menyatakan belum ada satu jalan yang pasti menuju masa depan yang berkembang. Namun, Bain & Company menemukan bahwa beberapa perusahaan memprioritaskan enam aksi yang semuanya telah dipercepat oleh Covid-19.
Pertama, kembali memetakan nilai proporsi perusahaan. Hal ini diterjemahkan dengan pertumbuhan format yang nyaman, belanja online, dan polarisasi antara nilai dengan pengecer premium.
Kedua, memenangkan keterikatan digital dengan konsumen. Lebih dari 70 persen e-commerce di Asia dilakukan melalui telepon dan Covid-19 telah memacu pengunaan medium digital.
Ketiga, operasi yang tahan banting. Di Asia Pasifik, hanya peritel dari Australia, Jepang, dan sedikit di Korea Selatan yang masih terus membangun toko fisik mereka layaknya peritel di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Sebaliknya, China hanya menambah 1 persen luasan toko fisik sekitar 1 m2 per kapita dan memilih menggandakan kapasitasnya di toko online.
Keempat, menguasai rantai pasokan dan jasa pengiriman. Ekspektasi konsumen terhadap jasa pengiriman ke rumah tercatat meningkat. Sayangnya, model ini pasti terhambat dengan keragaman kepadatan, infrastruktur logistik, biaya real estate dan biaya tenaga kerja.
Di Jakarta dan Mumbai misalnya, rendahnya biaya tenaga kerja, kemacetan yang tinggi dan rendahnya biaya real estate memungkinkan model hiperlokal untuk diaplikasikan.
Kelima, menentukan tujuan ekosistem. Kebangkitan ekosistem di Asia telah terakselerasi akibat Covid-19 seiring dengan para peritel yang menggenjot kerja sama untuk memacu kapasitas digital, skala virtual dan migrasi ke online.
Keenam, meningkatkan kapasitas digital. Beberapa peritel bahkan telah mengucurkan investasi untuk meningkatkan kapasitas digital demi memenuhi selera pasar yang dinamis.
“Bahkan sebelum Covid-19, tidak mudah menjadi peritel. Perusahaan harus menyeimbangkan serangkaian prioritas untuk berkompetisi, menjalankan bisnis sekaligus beradaptasi. Di tengah pandemi, kerangka waktu berubah sangat cepat,” jelas penulis Bain & Company, Derek Keswakaroon. (ATN)
Discussion about this post