ASIATODAY.ID, MAKASSAR – Ratusan nelayan yang terhimpun dalam Aliansi Selamatkan Pesisir Kota Makassar Aktivitas reklamasi pesisir pantai Kota Makassar, Sulawesi Selatan, untuk pembangunan Central Poin of Indonesia (CPI), ditentang keras oleh kelompok nelayan setempat.
Pasalnya, reklamasi tersebut mematikan sumber kehidupan puluhan kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya di zona itu.
Dengan adanya reklamasi CPI Makassar, 43 Kepala Keluarga (KK) yang telah lama mendiami wilayah itu, kini harus tergusur dan lahan mereka berubah menjadi lahan baru milik Ciputra.
Tak hanya itu, reklamasi CPI ini juga menghambat akses melaut nelayan setempat, sebab laut sekitar jadi dangkal dan kondisi itu kian diperburuk dengan munculnya larangan menangkap ikan di sekitar lokasi CPI.
“Sebelum adanya reklamasi, pendapatan kami baik-baik saja dan kami mampu menghidupi keluarga, tapi setelah adanya reklamasi, kondisi sangat susah dan kami terus merugi. Beberapa nelayan harus memutus sekolah anaknya karena tidak ada biaya,” kata Ketua Kelompok Nelayan Bonttorannu Bahari, Indrajaya dalam orasinya saat berunjuk rasa di lokasi CPI, Kamis (19/9/2019).
Proyek reklamasi CPI ini telah berlangsung sejak empat tahun silam. Proyek ini sejak awal sudah ditolak oleh para nelayan karena menimbulkan banyak masalah.
Hadirnya CPI, tangkapan ikan, udang dan kerang, kian sulit karena ekosistem di sekitar CPI sudah tercemar sehingga biota laut tidak mampu bertahan hidup lebih lama lalu mati.
Agar bisa survive, para nelayan pun harus melaut ke wilayah terjauh. Akibatnya, para nelayan harus merugi karena kerap mengeluarkan biaya ekstra, untuk membeli BBM.
“Kami sangat sengsara, apalagi hasil tangkapan kita juga menurun. Hanya Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu, yang biasanya Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu perhari dengan hasil tangkapan cukup banyak,” paparnya.
Selain reklamasi, para nelayan juga menyuarakan protes terhadap pembangunan jembatan di CPI. Lokasi ini sebenarnya adalah akses keluar nelayan untuk melaut, namun akses ini telah sempit dan dangkal. Apalagi rencananya, pihak pengelola CPI yakni PT Ciputra Group akan kembali membuat jembatan kedua didekat area jalur perahu nelayan.
“Kami mendesak pihak pengembang tidak membuat jembatan baru, sebab jembatan yang lama saja menuai masalah. Mendesak Ciputra melakukan pemulihan akses nelayan dengan segera melakukan pengerukan,” tegas Muhaimin Arsenio, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel.
“Menghentikan larangan menangkap ikan di lokasi reklamasi dan menuntut atas pemulihan hak atas alat dan ruang tangkap nelayan yang ikut tertimbun di lahan reklamasi,” tambahnya.
Merespon unjukrasa itu, pihak Ciputra Group melalui legal hukumnya, Syarif mengatakan, terkait dengan pembangunan jembatan pertama yang dilalui nelayan, itu dibangun Pemerintah Provinsi Sulsel. Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan pengerukan di area akses perahu nelayan, meski pengerukan itu dianggap nelayan belum cukup.
“Saya hadir disini untuk mendengarkan aspirasi serta mencari jalan keluar. Kalau terkait pembuatan jembatan baru itu tidak bisa ditekan-tekan. Terkait pembangunan kanal untuk akses jalur kita masih menunggu instruksi dari pemerintah,” katanya.
Menurut Syarif, keterlambatan pembangunan kanal tersebut, belum bisa dilakukan karena tidak ada petunjuk dari Pemerintah Kota maupun Pemprov Sulsel sebagai pemilik lahan. Padahal, menurut peserta aksi, pembuatan kanal tersebut sudah tertuang dalam Amdal setelah dilakukan diadendum.
Aksi kemudian berakhir setelah kedua belah pihak sepakat untuk mengagendakan pertemuan kembali dengan menghadirkan Pemerintah Kota Makassar dan Pemprov Sulsel, pihak Ciputra, nelayan dan ASP guna membahas solusi dari permasalahan tersebut. Paserta aksi kemudian membubarkan diri. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post