ASIATODAY.ID, YANGON – Krisis politik di Myanmar belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Jutaan rakyat sipil dilaporkan telah berhenti bekerja dan bergabung dalam gerakan protes dan mogok massal menentang kudeta militer.
Dikutip dari Al Jazeera, Senin (22/2/2021), rakyat Myanmar menyerukan pemulihan demokrasi setelah para jenderal merebut kekuasaan dalam kudeta.
Aksi pemogokan umum nasional digelar pada Senin (22/2) meskipun ada jam malam, blokade jalan, dan lebih banyak penangkapan semalam.
Secara terpisah, Amerika Serikat (AS) memperingatkan akan “mengambil tindakan tegas” terhadap militer jika terus menindak orang-orang yang menyerukan pemulihan pemerintah yang terpilih.
Setidaknya dua orang tewas setelah kekerasan selama akhir pekan ketika ribuan orang berkumpul pada Minggu (21/2) di Naypyidaw untuk pemakaman Mya Thwate Thwate Khaing. Perempuan berusia 20 tahun itu ditembak di kepala pada protes di ibu kota pada 9 Februari dan meninggal dunia pada Jumat (19/2).
Pada Minggu malam, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga mengutuk kekerasan tersebut.
“Amerika Serikat akan terus mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Burma karena mereka menuntut pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis,” tulis Blinken di Twitter.
Pernyataan Blinken merujuk pada Myanmar dengan nama sebelumnya. AS telah menjatuhkan sanksi kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta pada 1 Februari dan perwira militer lainnya. (ATN)
Discussion about this post