ASIATODAY.ID, JAKARTA – Krisis ekonomi dan politik mencengkram dua negara di Asia, Sri Lanka dan Pakistan.
Negeri Sri Lanka mengalami krisis terparah, bahkan negara itu kini diambang kolaps.
Berbagai analisis menyeruak di publik karena dikhawatirkan krisis serupa melanda negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.
Pasalnya, dampak krisis Pandemi Covid-19 hingga kini masih berlanjut.
Menurut ekonom INDEF, Didik J. Rachbini, hal ini tidak mudah dijawab, tetapi bisa dikaji dari indikasi-indikasinya.
Setidaknya ada beberapa indikasi masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia.
Pertama, krisis Covid-19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti, beda dengan krisis ekonomi.
Menurut Didik, krisis Indonesia multi-dimensi, paling tidak ada dua dimensi, yakni kesehatan dan ekonomi.
“Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid ini,” jelas Didik dalam diskusi Forum Guru Besar Insan Cita bertajuk “Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis”, dikutip Senin (18/7/2022).
Kedua, kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada angka 5% seperti sekarang, masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban. Apalagi berharap ekonomi bisa tumbuh hingga 7%.
Dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud.
Bonus demografi menjadi tersia-siakan, padahal hanya datang sekali dalam sejarah bangsa-bangsa.
“Indonesia sangat sulit melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batar USD10 ribu per kapita. Sudah hampir 10 tahun ini pendatapan per kapita kita hanya USD4 ribu,” paparnya.
Ketiga, krisis harga pangan dan energi. Di Amerika Serikat saat ini, inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrean makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau.
Mengapa situasi itu tidak atau belum terjadi di Indonesia?
Didik memandang, pemerintah melakukan subsidi besar-besaran dan memitigasi semua kemungkinan inflasi dengan berbagai langkah, menggunakan APBN dan berutang.
“Kebijakan itu berpotensi menimbulkan risiko di masa mendatang, bahkan akan menjadi tanggungan presiden yang akan datang,” imbuhnya.
Adapun subsidi dari pemerintah saat ini lanjut Didik, sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun.
Keempat, ada utang dan defisit dalam setahun Rp1.000 triliun.
Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang artinya lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Semua itu terjadi karena tidak ada check and balance.
Sekarang, Pemerintah Daerah dan kepala daerah dianggap berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementerian terkait berapa kali perjalanan dinas dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak.
“Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak ke mana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN, tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun,” jelas Didik.
Kelima, adanya kesenjangan sosial, namun demikian Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan.
Dari segi ekonomi berbeda. PDB Indonesia USD1 triliun, sengaja PDB Sri Lanka hanya USD80 miliar.
“Jadi Indonesia is large economy, Sri Lanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dan Indonesia,” tegas Didik.
Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada, dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat.
Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras.
“Jadi, Sri Lanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka,” jelasnya.
“Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap peduli terhadap krisis,” kata Didik.
Terakhir, kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan.
“Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi,” ujarnya.
“Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karena itu, kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang,” tandas Didik. (ATN)
Discussion about this post