ASIATODAY.ID, JAKARTA – Krisis politik di Myanmar menyusul terjadinya kudeta militer mendapat sorotan dunia, terutama di negara-negara Barat yang mengecam tindakan militer terhadap pemerintahan sipil. Namun, sikap negara-negara Barat itu berbeda dengan komunitas ASEAN.
Negara-negara anggota ASEAN tidak satu suara dalam menyikapi kudeta oleh militer dan penahanan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi pada Senin (1/2/2021).
Dikutip dari BBC.com, Selasa (2/2/2021), Kementerian Luar Negeri Malaysia menyerukan kepada Myanmar untuk menyelesaikan semua sengketa pemilu melalui mekanisme hukum yang ada dan menggelar dialog secara damai.
“Malaysia sebagai negara tetangga dan anggota ASEAN akan terus mendorong keamanan dan kestabilan, karena hal itu penting demi kemajuan dan kemakmuran semua di kawasa ini, termasuk di Myanmar. Malaysia senantiasa memberi dukungan kuat bagi peralihan demokrasi Myanmar, proses perdamaian, dan pembangunan ekonomi yang inklusif,” demikian pernyataan Kemlu Malaysia.
Sementara, Indonesia mengimbau agar Myanmar menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN, di antaranya komitmen pada hukum, kepemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.
Pemerintah Indonesia juga menggarisbawahi bahwa sengketa-sengketa terkait hasil pemilihan umum dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang ada. Indonesia juga mendesak semua pihak di Myanmar menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagai tantangan dan permasalahan yang ada sehingga situasi tidak semakin memburuk.
Sedangkan, Kemlu Singapura menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait situasi terbaru di Myanmar.
“Kami memantau situasi dengan seksama dan berharap semua pihak menahan diri, menggelar dialog, dan berusaha mencari penyelesaikan positif dan damai,” tulis Kemlu Singapura.
Beberapa negara ASEAN lain memilih melakukan pendekatan berbeda dalam mengomentari situasi di Myanmar. Di Thailand, Wakil Perdana Menteri Prawit Wongsuwon mengatakan, perebutan kekuasaan di negara yang berbatasan langsung dengan negaranya itu adalah masalah dalam negeri.
Kemudian, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen juga menegaskan bahwa kudeta itu merupakan masalah dalam negeri Myanmar. PM Hun Sen pun menolak untuk memberikan keterangan lebih jauh.
Hal senada juga disampaikan Presiden Filipina Rodrigo Duterte melalui juru bicaranya. Menurut Duterte, negaranya mengedepankan keselamatan rakyat Myanmar dan memandang apa yang terjadi di sana sebagai masalah dalam negeri dan Filipina tidak akan mencampurinya.
Militer Myanmar diduga melakukan kudeta, Senin (1/2/2021) dini hari, dengan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah pejabat tinggi lainnya. Beberapa jam setelah penangkapan, militer lewat siaran di televisi mendeklarasikan status darurat dan mengambil alih negara selama 1 tahun.
Kudeta terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil Myanmar dan militer karena perselisihan Pemilu pada 2020. Myanmar, yang juga disebut Burma, dipimpin oleh militer sampai reformasi demokrasi dimulai sejak 2011.
Dalam pemilu November, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan. Namun, militer menuding kecurangan dalam pemungutan suara. Pada Senin, militer menyatakan telah menyerahkan kekuasaan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing. Tentara dikerahkan ke jalanan di ibu kota, Naypyidaw, dan kota utama, Yangon.
Koneksi data internet seluler dan beberapa layanan telepon juga diblokir. NetBlocks, organisasi non-pemerintah yang melacak penutupan internet, melaporkan gangguan parah kepada koneksi web. Nomor telepon di ibu kota Naypyidaw juga tidak dapat dijangkau. (ATN)
Discussion about this post