ASIATODAY.ID, BEIJING – Krisis properti kini sedang melanda negeri China.
Pasalnya, pembeli rumah di seluruh penjuru China ramai-ramai mogok melakukan pembayaran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pekan ini.
Boikot bayar KPR dilakukan karena ratusan proyek perumahan yang tidak kunjung selesai.
Krisis properti ini terjadi sebagai efek domino dari jatuhnya raksasa properti China, Evergrande Group tahun lalu dan beberapa perusahaan properti lainnya karena gagal bayar utang.
Banyak proyek properti mangkrak karena Pemerintah China memperketat pembangunan proyek baru yang didanai dengan skema pre-sales atau prapenjualan.
Dalam skema pre-sales, perusahaan properti diizinkan untuk menjual rumah sebelum menyelesaikannya, dan pelanggan harus mulai membayar KPR sebelum serah terima kunci.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan oleh para pengembang.
Menurut beberapa laporan media pemerintah dan data yang dikumpulkan oleh perusahaan riset China Real Estate Information Corporation (CRIC) yang berbasis di Shanghai, pembeli di 18 provinsi dan 47 kota telah berhenti melakukan pembayaran sejak akhir Juni.
Tianmu News, outlet media digital milik negara, melaporkan pada hari Kamis bahwa pembeli rumah di lebih dari 100 proyek yang belum selesai telah bersama-sama mengumumkan bahwa mereka akan berhenti membayar KPR mereka.
Proyek-proyek ini tersebar di China tengah, selatan dan timur. Satu laporan media memperkirakan 46.000 pembeli rumah memboikot pembayaran KPR di 14 proyek tersebut.
“Jumlahnya masih bertambah,” kata laporan Tianmu, mengutip statistik yang diperoleh dari beberapa pembeli.
Menurut laporan Tianmu, pembeli proyek Evergrande di Jingdezhen, Provinsi Jiangxi, menjadi titik awal gerakan boikot bayar KPR ini.
“Proyek Evergrande Longting di Jingdezhen harus sepenuhnya dilanjutkan sebelum 20 Oktober 2022,” tulis mereka dalam surat terbuka pada 30 Juni yang dipublikasikan di internet dan diedarkan secara luas oleh media.
“Jika tidak, semua pemilik yang belum melunasi pinjamannya akan berhenti membayar KPR,” bunyi surat itu, seraya menambahkan bahwa segala kerugian harus ditanggung oleh bank, pemerintah daerah, dan pengembang.
Menurut badan pengawas sekuritas China (China Securities Regulatory Comission), sebanyak 16 bank publik, termasuk BUMN perbankan, jumlah KPR yang terdampak/rawan terdampak boikot adalah sebesar 2,8 miliar yuan atau sekitar Rp 6 triliun.
Jumlah ini terbilang kecil dalam skala portofolio KPR secara total, atau hanya 0,01%.
Namun, bagi konsumen, mereka berdarah-darah membayar KPR untuk rumah yang tidak kunjung selesai atau nilainya menjadi lebih murah dari kesepakatan awal ketika membeli.
Dikutip dari kanal Youtube China Insights, seorang konsumen mengatakan bahwa yang dia inginkan hanya sebuah tempat tinggal.
“Kami hanya ingin melihat rumah kami selesai. Tolong pahami kesulitan kami, demonstrasi adalah pilihan terakhir kami. Bisakah bank-bank meringankan pembayaran? 6 bulan saja akan sangat membantu.”
Dia mengatakan harus membayar KPR sebesar 6.000 yuan per bulan dan biaya kontrakan 2.500 yuan. Sementara penghasilan dia 7.000 yuan dan istrinya 4.000 yuan.
“Saya takut sakit dan harus berobat (karena penghasilannya habis untuk KPR dan kontrakan)”.
Kondisi konsumen China diperparah karena sistem pengawasan kredit (credit score) di China yang sangat ketat. Jika individu di-blacklist karena kredit macet, dampaknya akan terasa hingga anak cucu. Mereka akan sulit mendapat pinjaman baru, bahkan melamar kerja, menjadi pegawai negeri, masuk universitas akan sulit kalau credit score mereka atau keluarga mereka rendah.
Analis Nomura memperkirakan bahwa pengembang properti hanya menyerahterimakan sekitar 60% dari rumah yang mereka jual antara tahun 2013 dan 2020, sementara total KPR China naik sebesar 26,3 triliun yuan pada periode yang sama.
Para ahli mengatakan aksi boikot bayar KPR dapat menyebabkan keresahan finansial dan sosial.
Ekonom senior ANZ China, Betty Wang, yakin dampak boikot KPR lebih besar dari yang disampaikan perbankan.
Dia memperkirakan bahwa 1,5 triliun yuan KPR atau 4% dari total KPR yang beredar, dapat dipengaruhi oleh pergerakan tersebut.
Pejabat keuangan dan perumahan China dilaporkan telah mengadakan pertemuan dengan bank-bank besar minggu ini setelah pembeli rumah dari setidaknya 150 proyek properti mengumumkan rencana untuk berhenti membayar hipotek mereka.
Laporan media mengatakan pada hari Kamis bahwa regulator keuangan dan pejabat Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan-Pedesaan mengadakan pertemuan darurat dengan bank pada hari Selasa dan Rabu untuk membahas meningkatnya risiko boikot bayar KPR. (ATN)
Discussion about this post