ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perlawanan terhadap agresivitas China di Laut China Selatan makin memanas.
Yang terbaru, 5 kapal perang Australia menggelar latihan militer bersama dengan armada Angkatan Laut Amerika Serikat dan Jepang di perairan lepas Filipina, Laut China Selatan.
Latihan gabungan ini digelar setelah China meluncurkan serangkaian manuver provokatif yang membuat situasi di Laut China Selatan kembali menegang.
Armada Australia yang dipimpin kapal HMAS Canberra telah bergabung dengan armada penyerang AS yang terdiri dari kapal induk USS Ronald Reagan dan sebuah kapal perusak Jepang untuk melakukan latihan trilateral menjelang simulasi perang bersama skala besar di Hawaii.
Komando armada Australia Michael Harris mengatakan latihan ini menjadi kesempatan bekerja sama dengan AS dan Jepang.
“Menjaga keamanan dan keselamatan di laut membutuhkan angkatan laut yang dapat bekerja sama dengan mulus. Latihan gabungan antara angkatan laut kami menunjukkan tingkat interoperabilitas dan kemampuan yang tinggi antara Australia, Jepang, dan AS,” kata Harris melalui pernyataan yang dirilis Kementerian Pertahanan Australia, melansir ABC News pada Rabu (22/7/2020).
Selama dua hari ke depan angkatan laut ketiga negara itu akan melakukan berbagai latihan militer yang ditujukan untuk menjaga kawasan Indo-Pasifik “yang bebas dan terbuka”.
Armada Angkatan Laut Australia telah meninggalkan pelabuhan di Darwin sejak 5 Juli lalu. Setelah merampungkan latihan di Laut China Selatan, armada Angkatan Laut Australia akan menuju Hawaii untuk berpartisipasi dalam Latihan Rim Pasifik (RIMPAC)
Angkatan Laut Jepang yang dipimpin Kapten Sakano Yusuke mengatakan, latihan trilateral ini sangat penting bagi Negeri Matahari Terbit dan dapat berkontribusi dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
“Pengalaman dalam latihan ini memberikan kita keuntungan taktis dan operasional dan membuat kemitraan kami semakin kuat,” ujar Sakano.
Ketegangan antara AS-China terus memanas di Laut China Selatan. Kedua negara adidaya terus mengerahkan kapal dan pesawat militernya untuk memantau kawasan dan menggelar latihan di sana.
Sementara itu, China juga sempat melakukan latihan serupa di perairan tersebut. Delapan jet tempur China bahkan terlihat terparkir di pangkalan militer utama Negeri Tirai Bambu yang terletak di salah satu pulau di Kepulauan Paracel, Laut China Selatan, yang disengketakan.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper berencana mengunjungi China dalam waktu dekat untuk membicarakan eskalasi militer kedua negara di Laut China Selatan.
Indonesia Jangan Pasif
Sementara itu, Guru Besar Hubungan Internasional President University, Anak Agung Banyu Perwita menyerukan agar Pemerintah Indonesia bersikap proaktif dan tidak pasif menghadapi agresivitas China.
Ia mendesak agar Indonesia mempertajam serta mengintegrasikan kebijakan luar negeri dan pertahanan dalam merespons isu keamanan nasional seperti sengketa di Laut China Selatan.
Menurutnya, kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi isu Laut China Selatan masih setengah-setengah.
Padahal klaim historis China terhadap sebagian besar wilayah Laut China Selatan sangat mempengaruhi keamanan nasional Indonesia, terutama terkait kedaulatan maritim negara, meski Jakarta mengaku tak pernah memiliki sengketa wilayah di perairan itu dengan China.
“Kebijakan politik luar negeri Indonesia jangan parsial, setengah-setengah di Laut China Selatan. Sejauh yang saya perhatikan selama ini, respons Indonesia di Laut China Selatan masih sifatnya reaktif saja,” terang Banyu dalam webinar terkait Konstalasi China-AS pada Rabu (22/7/2020).
Banyu memandang, kebijakan Indonesia dalam merespons isu keamanan internasional masih terpisah-pisah. Ia mendukung wacana pemerintah yang disebut tengah merumuskan omnibus law dalam urusan keamanan maritim.
RUU tersebut harus terdiri dari kebijakan luar negeri sekaligus pertahanan Indonesia agar pemerintah bisa efektif merespons segala isu regional maupun global yang terjadi secara satu suara.
Lebih jauh, Banyu memandang Indonesia bersama negara ASEAN lainnya harus segera mengambil langkah konkret dan mempersiapkan alternatif jika China semakin agresif dan berkeras mengklaim Laut China Selatan secara sepihak.
ASEAN harus bisa memastikan negosiasinya dengan China terkait kode etik di Laut China Selatan (Code of Conduct/CoC) efektif dan dapat diimplementasikan secara riil.
“Kalau China saja saat ini sudah tidak menghormati Konvensi PBB soal Hukum Kelautan (UNCLOS) di Laut China Selatan, apa mungkin China bisa menghormati CoC yang disiapkan ASEAN yang bahkan sampai saat ini masih tertatih-tatih,” kata Banyu dengan nada tanya.
“Kalau China saja bisa mengabaikan UNCLOS 1982, bagaimana dengan responsnya terhadap CoC yang tidak mengikat secara hukum,” tambahnya.
Walau demikian, Banyu menilai konflik di Laut China Selatan sangat kecil kemungkinan memicu perang terbuka di kawasan. Namun, ia khawatir jika tidak ada pedoman yang jelas, konflik terbuka bisa pecah di Laut China Selatan karena ketidaksengajaan.
“Saya khawatir perang di Laut China Selatan justru dipicu bukan karena kesengajaan, tapi karena ketidaksengajaan seperti insiden tabrakan kapal, salah tembak, dan lain sebagainya. Ini harus jadi pekerjaan rumah Indonesia untuk 3-4 tahun ke depan ketika negara lain sudah berpikir terkait penguatan alutsista dan isu pertahanan lainnya sampai 2035,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post