FENOMENA aksi bayaran bukanlah sesuatu yang baru. Sesungguhnya dalam setiap gerakan, apalagi yang relatif besar, dengan potensi implikasi ketidakpastian yang akan ditimbulkannya, selalu ada saja oknum di dalamnya yang mengambil kesempatan. Sebab, oknum itu sadar bahwa ada pihak yang memiliki kepentingan dan mau mengeluarkan uang untuk mengamankan kepentingannya. Keduanya menjalin simbiosis mutualisme untuk memastikan keuntungan.
Dalam banyak konteks, gerakan berbasis kekuatan numerik atau jumlah kepala, memang masih dianggap penting untuk menyuarakan dukungan atau sebaliknya penolakan pada isu-isu sosial politik tertentu. Ini dilakukan karena tidak ada kekuatan isi kepala (baca: ide) di dalamnya, sehingga harus digantikan dengan sejumlam massa yang terlihat menggentarkan yang bisa dibayar untuk meneriakkan, sehingga mampu menghasilkan pengaruh yang diharapkan. Apalagi dalam demokrasi, prinsipnya adalah setiap kepala adalah sama, tidak pandang isinya. Jika suatu isu berkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atas kapital besar, maka pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan untuk mendapatkan dukungan. Mereka bisa mengerahkan sumber daya kapital yang mereka miliki untuk menggerakkan massa aksi dengan segala identitas dan poster-poster yang dibuat dengan sangat rapi. Padahal massa aksi tidak tahu sama sekali tentang isu yang mereka dukung atau tentang.
Entitas yang paling diperhitungkan, karena itu, adalah mahasiswa. Sebab, di dalam aksi mahasiswa berarti terkumpul dua hal, yaitu: ide dan juga jumlah. Bahkan, usia muda mahasiswa membuat mereka sesungguhnya memiliki nilai-nilai lebih lainnya.
Dengan kekuatan intelek, mahasiswa cukup bisa menangkap fenomena yang sedang terjadi, lalu menganalisisnya, walaupun belum bisa komprehensif dan mendalam. Dengan intelejensia itu, mahasiswa memberikan dukungan jika sesuai atau sebaliknya melakukan kritik tajam jika bertentangan. Dengan tenaga muda, mahasiswa bisa bergerak untuk menunjukkan diri sebagai entitas yang siap menantang setiap kekuatan yang melakukan tindakan menyeleweng. Tidak ada ketakutan, juga tidak ada kekhawatiran yang berlebihan karena tidak banyak beban dan tanggungan.
Namun, dalam satu dekade terakhir, mahasiswa seolah tidak nampak menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagaimana sebelumnya. Kampus yang seharusnya menjadi medan pertarungan ide-ide, telah berubah sebagai tak ubahanya kandang ayam.
Ya. Karena kampus terjebak pada rutinitas formal menerima sejumlah tertentu mahasiswa, lalu meluluskan mereka dalam rentang waktu tertentu sesingkat mungkin, walaupun dengan kualitas kelulusan berdasarkan belas kasihan. Rutinitas yang memenjara mereka, membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk menajamkan pandangan atas dinamika sosial politik yang terjadi di luar kampung. Kepekaan mereka terhadap dinamika negatif tidak terlatih, sehingga menjadi manusia yang sibuk dengan urusan diri dari ketakutan-ketakutan yang naifnya justru disebabkan oleh sistem yang dibuat oleh kampus.
Dengan kata lain, mahasiswa sibuk dengan segala macam urusan, kecuali tupoksi yang menjadi fitrahnya sebagai agen kontrol dan perubahan sosial. Akibatnya, indra mereka kehilangan ketajaman untuk menangkap panggilan melakukan gerakan.
Inilah yang menyebabkan terbuka ruang kosong yang dilihat dengan sangat baik oleh para pengkhianat. Mereka memanfaatkan ruang kosong dengan cara mengisinya dengan para pengangguran yang diberi jaket almamater mahasiswa yang seolah berasal dari berbagai universitas dengan bekal nasi bungkus. Sayangnya, mereka lupa untuk memasang logo almamater, sehingga dengan mudah teridentifikasi sebagai demonstran bayaran. Apalagi jika diuji dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut mereka.
Mestinya ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi para mahasiswa, agar jangan sampai meninggalkan habitat mereka, tidak hanya ruang diskusi di kampus, tetapi di jalanan dan di hadapan penguasa lalim untuk beradu argumentasi menentang kebijakan sesat. Jika mereka meninggalkannya, maka akan dimanfaatkan oleh orang lain dengan mengatasnamakan mahasiswa dan menyuarakan kepalsuan. Kepalsuan yang disuarakan oleh demonstran preman yang mengatasnamakan mahasiswa tentu saja bisa merusak nama baik mahasiswa. Padahal mahasiswa masih sangat diharapkan selalu menjaga independensi untuk hanya berpihak dan membela kebenaran, juga menolong dan memberdayakan mereka yang tertindas dan terpinggirkan.
Warga kampus, terutama para pemimpinnya, baik di level birokrat maupun aktivisnya, sebagai civitas akademika harus kembali berpikir secara komprehensif dan menjadikan kampus sebagai gua garba untuk melahirkan manusia-manusia kritis dan memiliki kepedulian sosial-politik. Jangan sampai kampus menjadi alat produksi manusia-manusia robot untuk hanya memenuhi kebutuhan para kapitalis dalam rangka semakin mengakumulasi kapital yang lebih besar.
Mahasiswa dan sarjana haruslah menjadi manusia utuh yang memiliki panggilan kuat untuk memerdekakan mereka yang sebelumnya teralienasi dari pekerjaan mereka sendiri. Dan untuk itu, kampus harus melakukan revolusi total kurikulum dengan menjadikan kepedulian sosial politik sebagi alat uji keberhasilan proses pendidikan tinggi. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Penulis, Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang
Discussion about this post