ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengumumkan akan terjadinya resesi ekonomi global sebagai dampak dari pandemi global wabah coronavirus (Covid-19).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan memandang, Indonesia perlu mewaspadai ancaman terjadinya resesi lantaran gangguan rantai suplai global, melemahnya permintaan dan layanan ekspor-impor, serta menurunnya aktivitas bisnis di berbagai negara.
Menurut Pingkan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,3 persen untuk tahun ini akan sulit tercapai dengan melihat berbagai dinamika dalam perekonomian global.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I-2020 ini terkoreksi ke level 4,8 persen-4,9 persen yang dinilainya sangat realistis.
Pingkan memandang, pemberian stimulus fiskal sangat diperlukan untuk mencegah dampak negatif jangka panjang dari perlambatan ekonomi global yang saat ini tengah berlangsung.
Paket stimulus jilid III yang mencakup aspek kesehatan, perlindungan sosial, serta upaya menjaga kinerja pelaku usaha perlu disambut baik dan diharapkan dalam prosesnya dapat terkoordinasi dengan baik di segala lapisan.
Selain stimulus di tingkat nasional, koordinasi di tataran global untuk memberikan stimulus juga sangat dibutuhkan.
Berdasarkan pengalaman saat krisis keuangan global 2008, stimulus fiskal yang diberikan oleh negara G-20 berjumlah sekitar dua persen dari PDB, setara lebih dari USD900 miliar di 2009.
Selanjutnya, kebijakan moneter yang melibatkan bank sentral perlu memperhatikan aliran kredit dapat disalurkan ke sektor ekonomi riil.
“Di masa krisis seperti saat ini, intervensi valuta asing dan langkah-langkah manajemen aliran modal dapat bermanfaat melengkapi tingkat suku bunga dan tindakan kebijakan moneter lainnya. Terlebih melihat kondisi Rupiah yang pada hari ini melemah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp16.038,” jelas Pingkan melalui keterangan tertulisnya, yang diterima Rabu (25/3/2020).
Regulasi yang tanggap terhadap dinamika perekonomian juga sangat diperlukan. Menurutnya, pengawasan sistem keuangan harus bertujuan untuk mengedepankan keseimbangan antara menjaga stabilitas keuangan, menjaga kesehatan sistem perbankan dan meminimalisir dampak negatif perekonomian.
Harmonisasi kebijakan pusat dengan daerah juga jadi poin penting. Hal ini sangat krusial mengingat jumlah penduduk Indonesia yang banyak dan tersebar di 34 provinsi.
Koordinasi dan harmonisasi kebijakan perlu terus diupayakan dan ditingkatkan agar menjamin kesiapan segala pihak termasuk masyarakat dalam memitigasi dampak negatif dari pandemik covid-19.
“Faktor kesehatan tentu menjadi fokus utama. Namun, perlu diingat pula bahwa karakteristik masyarakat di daerah satu dan lainnya berbeda sehingga penyesuaian kebijakan di sektor lain seperti ekonomi juga berdampak pada kemaslahatan hidup banyak orang,” ujarnya.
Ia melanjutkan, kondisi Indonesia pada tahun lalu sejalan dengan dinamika perekonomian global. Sepanjang tahun lalu, perlambatan ekonomi di tataran global dipicu oleh beberapa hal seperti perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok, menurunnya aktivitas manufaktur antarnegara, serta meningkatnya ketegangan di beberapa kawasan.
Ketegangan ini memberikan ketidakpastian pada pelaku bisnis dan investor seperti yang terjadi di Eropa karena Brexit dan demonstrasi di Hong Kong.
”Koreksi atas pertumbuhan ekonomi 2020 ini juga dilakukan oleh negara-negara lain hingga lembaga internasional seperti Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),” jelasnya.
Hal ini, lanjut dia, tidak lepas dari dampak yang ditimbulkan oleh perlambatan ekonomi global sebagai efek dari melonjaknya kasus covid-19.
OECD memangkas pertumbuhan ekonomi global ke level 2,4 persen dari yang semula di level 2,9 persen. Sri Mulyani sendiri bahkan memprediksi bahwa pertumbuhan global hanya akan berada pada level 1,5 persen saja melihat dinamika global yang terjadi saat ini dengan kasus covid-19 yang terus bertambah setiap harinya.
Negara-negara lain seperti Singapura dan Inggris mengoreksi pertumbuhan ekonomi mereka masing-masing dari 1,5 persen ke level 0,5 persen dan 1,0 persen ke level 0,8 persen. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post