ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perusahaan pemeringkat kredit internasional, Moody’s memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan di bawah 5 persen hingga tahun 2021. Sedangkan untuk tahun ini, ekonomi Indonesia hanya bertengger di level 4,9 persen.
Moody’s memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia selanjutnya pada 2020 akan di kisaran 4,7 persen. Sedikit mengalami perbaikan di 2021 sebesar 4,8 persen.
Moody’s Managing Director and Chief Credit Officer Michael Taylor mengatakan, pelemahan tersebut dikarenakan harga komoditas yang lesu dan tentunya memukul perekonomian. Namun, semuanya itu dipengaruhi oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
“Perang perdagangan memberikan banyak ketidakpastian tentang kebijakan perdagangan di masa depan dan itu berdampak pada pertumbuhan dan kami telah melihat beberapa penurunan harga komoditas dan sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan yang memiliki efek knock-on dalam hal ekonomi Indonesia,” kata Taylor, disitat dari Theinsiderstories, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di negara G20 memberi dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi di China. Indeks pertumbuhan ekonomi di China hanya di angka 6,2 persen yang mana terendah dalam 27 tahun. Tahun depan pertumbuhan ini akan mengalami pelambatan pada angka 5,8 persen.
Meskipun mengalami pelambatan, menurut Taylor, Indonesia diperkirakan tidak akan mengalami banyak perubahan dalam peringkat kreditnya. Dengan prospek stabil pada 13 April 2018, Indonesia naik peringkat ke 2, yang mana satu tingkat lebih tinggi dari peringkat investasi.
Peringkat ini diberikan berlandaskan kebijakan kerangka kerja yang kredibel dan efektif yang mendukung stabilitas makroekonomi.
Sementara itu, Vice President and Senior Credit Moody’s Jacintha Poh menjelaskan, harga komoditas yang menurun erat hubungannya dengan sektor perbankan yang menjadi kunci utama bagi bank di Indonesia. Produk Domestik Bruto yang melemah bersandingan dengan harga komoditas terutama pada harga minyak kelapa sawit dan batu bara akan sangat berpengaruh pada pendapatan perusahaan.
“Sementara harga komoditas telah agak pulih, tingkat risiko pinjaman masih meningkat jika Anda membandingkannya dengan puncaknya pada 2016. Kami semacam mengawasi ruang ini dengan seksama karena jika siklus komoditas berubah lagi, itu akan memiliki bahan berdampak pada sektor perbankan,” tandas Li. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post