ASIATODAY.ID, NEW YORK – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus mendengungkan ancaman pemanasan global yang kian mengerikan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa dunia sedang berada dalam “jalur bencana” terkait kenaikan temperatur global, yang disebutnya dapat melintasi batasan yang telah ditentukan sebelumnya.
Guterres khawatir temperatur global akan terus meningkat hingga sebesar 2,7 derajat Celcius, melampaui batasan yang dinegosiasikan dalam Perjanjian Iklim Paris 2015 di angka 1,5 derajat Celcius.
“Kita semua sebenarnya memiliki alat-alat yang dapat digunakan untuk mencapai target,” kata Guterres, Sabtu (18/9/2021).
“Tapi kita sudah sangat kehabisan waktu,” sambungnya.
Menurut Guterres, perang melawan perubahan iklim hanya dapat berhasil jika semua orang bekerja bersama dalam mendorong lebih banyak ambisi, kolaborasi, dan kredibilitas.
Guterres menyerukan semua negara untuk tidak mengabaikan sains dalam upaya menangani perubahan iklim. Ia juga meminta jajaran pemimpin di semua negara untuk bergerak mengambil tindakan tegas.
“Jika tidak dilakukan, maka masyarakat di semua negara harus membayar harga yang sangat tragis,” tutur Guterres.
Peringatan keras Guterres disampaikan usai PBB merilis sebuah laporan yang mengatakan bahwa komitmen-komtimen dalam perjanjian iklim Paris, yang sebagian besar tidak tercapai, dapat berujung pada peningkatan 16 persen emisi di tahun 2030 bila dibandingkan dengan level 2010.
Pemangkasan emisi sebesar 45 persen dibutuhkan hingga 2030 untuk mencapai netralitas karbon di pertengahan abad ini, tulis laporan PBB.
OEDC Soroti Progres Pendanaan Iklim Global
Sementara itu, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyoroti kemajuan pendanaan iklim global.
Negara-negara kaya membuat sedikit kemajuan dalam memenuhi janji mereka untuk menyediakan USD100 miliar per tahun bagi negara-negara miskin untuk memerangi perubahan iklim.
Negara-negara berkembang, yang menanggung dampak terbesar dari perubahan iklim, menerima USD79,6 miliar pada 2019. Hal itu disampaikan OECD dalam laporan terbarunya tentang masalah ini.
Jumlah itu lebih dari USD20 miliar di bawah apa yang dijanjikan oleh negara-negara kaya setiap tahun, mulai dari 2020.
Dana tersebut digunakan untuk membantu negara-negara lebih miskin mulai meninggalkan bahan bakar karbon dan mengatasi dampak iklim di masa depan.
Angka 2019 adalah yang terbaru dan tersedia, menandai peningkatan 2% dari tahun sebelumnya. Namun jumlah dana bantuan menurun tajam sejak itu.
Kelompok pengawas telah memperingatkan angka-angka tersebut masih mungkin meningkat.
“Kemajuan terbatas dalam volume pembiayaan iklim secara keseluruhan antara 2018 dan 2019 mengecewakan, terutama menjelang COP26 (pertemuan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada November 2021),” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) OECD Mathias Cormann mengatakan dalam sebuah pernyataan.
“Meskipun data yang diverifikasi dengan tepat untuk 2020 tidak akan tersedia hingga awal tahun depan, jelas bahwa pendanaan iklim akan tetap jauh dari targetnya,” jelas Cormann.
“Masih banyak yang harus dilakukan. Kami tahu bahwa negara-negara donor mengakui ini,” imbuhnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah Kanada dan Jerman memajukan rencana untuk memobilisasi keuangan tambahan yang diperlukan untuk mencapai target tahunan senilai USD100 miliar.
Sementara itu, dampak dari pandemi virus corona masih belum diketahui.
Negara-negara berpenghasilan rendah sangat terpukul oleh krisis Covid-19, dengan gelombang penyakit dan penguncian mendatangkan malapetaka secara ekonomi. Ini diperparah oleh bencana dan ancaman, didorong oleh perubahan iklim yang terus meningkat.
Pendanaan iklim publik dari negara-negara maju menyumbang bagian terbesar dari angka 2019, sekitar USD62,9 miliar. Sebesar USD2,6 miliar lainnya dalam bentuk kredit ekspor yang didukung pemerintah.
Sisanya, sekitar USD14 miliar, berasal dari investasi swasta yang dimobilisasi oleh mekanisme publik.
Konferensi tingkat tinggi (KTT) iklim PBB 2009 di Kopenhagen mengamanatkan bahwa negara-negara miskin harus menerima USD100 miliar. Perjanjian itu diperbarui dalam Perjanjian Paris 2015.
Tetapi tidak disebutkan dari mana uang itu berasal dan bagaimana akan dialokasikan, Hal ini yang membuat pelacakan perkembangan untuk mencapai program tersebut sulit dilakukan dan menuai sengketa.
Janji tersebut telah menjadi sumber kemarahan yang berulang di negara-negara miskin dan kemungkinan akan menjadi poin kunci dari perselisihan di pembicaraan iklim PBB yang genting di Glasgow pada November 2021. (ATN)
Discussion about this post