ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Indonesia akan menjadi Pemilu paling rumit di dunia karena dilaksanakan secara serentak dengan sistem sentralistik.
Apalagi, pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada tahun yang sama.
“Ini tidak saja akan menjadi Pemilu paling kompleks, tapi juga paling rumit di dunia karena merupakan pemilihan satu hari terbesar di dunia,” kata Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Senin (3/1/2022).
Titi mengemukakan hal itu terkait dengan rencana penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, Pemilu Anggota DPD, dan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota pada tahun 2024.
Selain itu, Indonesia memiliki karakteristik lainnya, yaitu menyelenggarakan Pemilu dengan rekapitulasi suara paling lama di dunia. Begitu pula terkait dengan database yang menunjukkan bangsa ini memiliki data pemilih tersentralisasi terbesar di dunia.
Menurut Titi, Pemilu di Indonesia juga menyimpan salinan hasil penghitungan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam database tersentralisasi yang juga terbesar di dunia.
Sedangkan terkait dana kampanye, Titi juga mengatakan pemilu di Indonsia termasuk yang paling mahal di dunia. Bahkan dianggap cenderung tidak membatasi, yakni Rp2,5 miliar per individu dan Rp25 miliar per badan hukum swasta.
Karena itu Titi mendorong adanya mekanisme pembiayaan partai politik (parpol) oleh negara. Pembiayaan yang berasal dari negara kepada Parpol diharapkan menekan biaya politik tinggi pada pemilihan umum, yang biasanya berujung politik uang dan tindakan korupsi.
“Jadi partai itu tidak lagi dikendalikan oleh sekelompok elite yang punya uang yang juga menguasai struktur-struktur strategis partai,” ujarnya.
Titi pun merespon sikap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengeluhkan tingginya biaya politik dan menjadi permasalahan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Karena itu Tito mengusulkan untuk mengkaji ulang pelaksanaan pilkada langsung.
“Jadi parpol tidak perlu lagi mengembalikan mahar politik ataupun uang yang diberikan sejumlah pihak untuk keberlangsungan kegiatan partai termasuk saat pilkada. Kemudian juga diharapkan dapat menekan tindakan korupsi untuk membayar modal politik dan perjanjian terhadap sejumlah pihak tersebut,” ujarnya. (ATN)
Discussion about this post