ASIATODAY.ID, JAKARTA – Rencana Pemerintah Indonesia melalui Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan untuk mempercepat larangan ekspor nikel sebelum tahun 2022, direspon berbeda oleh kalangan pengusaha. Satu sisi ada yang mendukung, namun pada sisi lain menentang bahkan meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana itu.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani memandang langkah pemerintah mendorong hilirisasi di industri tambang sudah patut dilakukan.
Menurut Rosan, kebijakan seperti pelarangan ekspor bijih nikel memang harus dijalankan agar pengembangan industri tambang mengarah pada hilirisasi produk.
“Ya mengarahnya mesti ke hilirisasi. Tentu pasti ada perusahaan atau BUMN yang berteriak apalagi yang biasa ekspor nikel, tapi memang harus menuju ke situ (hilirisasi),” ujar Rosan di Menara Kadin, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Rosan mengungkapkan, hilirisasi produk tambang seperti bijih nikel, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Meskipun proses transisi akan membawa tantangan berat, namun para pelaku usaha harus siap untuk menghadapinya. Kata dia, hal ini sebagaimana kebutuhan pengembangan industri kendaraan listrik yang berpotensi bisa menggantikan sarana transportasi berbahan bakar fosil di masa mendatang.
“Kendaraan yang berbasis komponen berbahan bakar fosil pelan-pelan harus menuju kendaraan berbasis elektric car, saya rasa itu hard natural bisnis yang harus dilalui,” jelas Rosan.
Sementara dari kalangan pengusaha tambang yang terhimpun dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menentang keras rencana itu.
Menurut Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin, alih-alih untuk meningkatkan nilai investasi, rencana percepatan larangan ekspor bijih nikel ini justru tidak mendengar masukan langsung dari para pengusaha nikel.
Padahal, kata dia, pemerintah sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) untuk wadah bagi para penambang agar bisa saling tukar pikiran. Namun kenyataannya, untuk masalah ini asosiasi tersebut tidak dilibatkan, justru hanya sepihak mendengar masukan pengusaha dan itu dari pengusaha asing.
Dia mengatakan, pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 50 triliun bila larangan ekspor bijih nikel dipercepat. Kerugian tersebut diantaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Karena pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.
“Kerugian pengusaha nasional yang masih dalam proses pembangunan smelter bisa mencapai Rp 50 triliun,” kata Meidy dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Tidak hanya itu, kekhawatiran lainnya yakni tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan. Selain itu, perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian.
“Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, dan dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut berjumlah 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel),” kata Meidy.
Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan, ketika ekspor bijih nikel dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, maka berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga 20 dollar Amerika Serikat (AS) sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya 32 dollar AS.
Dampak lainnya kata Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan.
“Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel,” kata dia. Sehingga menurut Budi, alasan mempercepat larangan ekspor bijih nikel untuk meraih investasi besar tak sebanding dengan kerugian yang ada.
Bahkan, larangan ini berpotensi menguntungkan segelintir pihak saja. Itu marena jika larangan ekspor diberlakukan segera maka harga nikel di dalam negeri akan anjlok.
“Padahal sebagaimana diketahui bahwa salah satu perusahaan Nikel yang telah beroperasi di Morowali, Tsing Shan sedang membangun pabrik baterai lithium yang membutuhkan bahan baku nikel yang jika harganya turun akan sangat menguntungkannya,” tandasnya. (AT Network)
Discussion about this post