ASIATODAY.ID, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia mengungkap fakta mencengangkan tentang ketimpangan yang tajam dalam penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Pasalnya, 54,42 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh investor asing, terutama dari Malaysia.
Menurut Direktur Kebijakan Persaingan KPPU, Marcellina Nuring, berdasarkan data yang ada, jumlah pekebun rakyat mencapai 99,92 persen dari total pelaku usaha perkebunan. Namun, mereka hanya menguasai sekitar 41,35 persen lahan sawit dari total perkebunan sawit nasional.
“Sedangkan jumlah perusahaan perkebunan swasta hanya 0,07 persen dari total pelaku usaha tetapi menguasai lahan seluas 54,42 persen,” terang Marcellina, Selasa (31/5/2022).
Sementara, perusahaan perkebunan negara hanya 0,01 persen dari toal jumlah pelaku usaha dan menguasai sekitar 4,23 persen lahan.
Dikatakan Marcellina, pekebun rakyat rata-rata hanya memiliki 2,21 hektare lahan sawit sementara perusahaan swasta rata-rata menguasai 4.241 ha. Perusahaan perkebunan negara rata-rata menguasai 3.321 ha lahan.
Situasi ini kata dia, harus segera diatur danpenguasaan lahan perkebunan sawit harus dibatasi. Sebab jika perluasan lahan, terutama dari perusahaan tidak dikontrol akan semakin mempertajam ketimpangan.
“Kondisi ini bisa membawa masalah termasuk potensi kontrol pasar pada produk hilir sehingga perlu dilakukan pembatasan oleh negara,” imbuhnya.
Modus Operandi
Menurut Ketua KPPU Ukay Karyadi, ada berbagai modus penguasaan lahan kebun kelapa sawit yang dilakukan oleh investor asing, salah satunya melalui akuisisi dan merger.
Kondisi ini jelas berdampak pada semakin sempitnya lahan yang dimiliki oleh perusahaan dalam negeri.
Ukay menegaskan, hal ini menjadi perhatian serius KPPU terhadap besarnya hak guna usaha (HGU) yang dimiliki segelintir kelompok pengusaha di Indonesia. Karena itu, Ia meminta pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali dan pembatasan terhadap penerbitan HGU sawit.
“Bukan hanya akuisisi yang dilakukan perusahaan asing, tapi juga membeli kebunnya. Modelnya, kebun rakyat dibeli perusahaan menengah dan dibeli oleh perusahaan besar. Di tahun 2021 saja ada aksi korporasi akuisisi 10 akuisisi di perkebunan sawit, dari 10 itu 6 dilakukan perusahaan asing dalam hal ini dari malaysia semuanya,” terangnya.
Kedepan kata Ukay, setiap notifikasi merger atau akuisisi akan lebih diperhatikan KPPU, termasuk mencermati penguasaan HGU lahan sawit tersebut.
“Penilaian merger akuisisi kedepan kita lihat penguasaan HGU-nya, KPPU bisa melakukan persetujuan bersyarat atau bahkan tak setujui aksi merger tersebut. karena sekalinya sektor hulu dikuasai, hilirnya akan mendikte pasar,” tandasnya.
Terkait rencana pemerintah untuk melakukan audit kepemilikan perkebunan kelapa sawit, Ukay menyebut pihaknya telah melakukan audit. Hal ini berawal dari perhatian KPPU terhadap meningkatnya harga minyak goreng di pasaran.
“Sedang kami lakukan dari awal tahun lalu, bahkan di hilirnya sedang dilakukan direktur investigasi KPPU, terutama dari sisi produksi. Dalam penyelidikan diperhatikan kapasita produksi, kemana wilayah pasar, itu mengaudit hilirnya, tapi belum selesai,” ungkapnya.
Meski begitu, Ukay mengakui mengalami kesulitan dalam melakukan audit di sektor hulu atau perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, KPPU tak memiliki otoritas untuk membuka data HGU lahan sawit.
“Kami sedikit tahu banyak karena seluruh perkebunan sawit kalau terpenuhi melakukan akuisisi pasti harus melapor ke KPPU baik nasional atau asing, di hulunya sudah terkonsentrasi,” terangnya.
Ia pun mendorong agar pemerintah segera melakukan pembatasan kepemilikan atau HGU lahan sawit. Bahkan, ia menyarankan untuk melakukan redistribusi izin HGU kepada perusahaan lainnya.
“Tujuannya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Ada redistribusi lahan dengan evaluasi HGU oleh kelompok usaha besar, apabila mereka terlalu dominan itu bisa dikaji perizinannya, dialihkan kepemilikannya,” ujarnya.
Ukay memandang, pembatasan hak guna usaha (HGU) bisa dibatasi berdasarkan kelompok usaha.
“Kami mengusulkan ada pembatasan hak guna usaha perkebunan sawit berdasarkan kelompok usaha, bukan per perusahaan tapi kelompok usaha,” katanya.
Terintegrasi
Lebih lanjut Ukay mengungkapkan, pembatasan perlu dilakukan menimbang banyaknya jumlah perusahaan perkebunan sawit, dimana terdapat banyak perusahaan di antaranya terintegrasi secara vertikal.
“Kami catat industri minyak goreng itu ada lebih 70, tapi kalau dikerucutkan itu tidak banyak. KPPU dalam penyelidikannya fokus kepada 8 kelompok usaha yang menguasai industri minyak goreng sekaligus mereka memiliki perkebunan sawit,” terangnya.
Yang paling ironis, berdasarkan data KPPU, walaupun banyak jumlah perusahaannya, namun hanya segelintir perusahaan menguasai CPO.
“Karena itu, kami menyambut baik pemerintah akan melakukan penataan di hulu, karena problem itu ada di hulunya,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post