ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perundingan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komperhensif antara Indonesia Uni Eropa (IEU CEPA) masuk putaran ke-8. Kali ini, agendanya secara spesifik akan membahas tentang industri sawit dan lingkungan hidup yang rencananya akan digelar dibulan ini. Head of Trade Section Delegation of The European Union to Indonesia and Brunei, Raffaele Quarto mengungkapkan hal itu melalui keterangan tertulisnya, Rabu (24/7/2019).
Raffaele mengungkapkan, minyak sawit merupakan komoditas utama bagi dua negara. Uni Eropa, membutuhkan minyak sawit untuk berbagai produk seperti bahan bakar nabati, makanan, sabun dan sebagainya. Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu penghasil dan eksportir sawit terbesar di dunia. Karena itu, ia menyarankan Indonesia sebaiknya lebih konsen kepada isu keberlanjutan dan isu lingkungan dalam hal mengelola sawit.
“Kami membutuhkan minyak sawit, tetapi kami juga harus memastikan minyak sawit diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan,” imbuhnya.
Raffaele sangat mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia memberikan sertifikat kepada pengusaha sawit untuk memastikan sawit Indonesia telah memenuhi standar lingkungan. Sertifikat itu meliputi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Karenanya, Raffaele menekankan pemerintah harus bisa memastikan seluruh produsen sawit mengantongi sertifikat itu.
“Saat ini, ada produsen yang memiliki sertifikat tetapi ada juga yang belum memiliki sertifikat. Ini dua hal yang harus clear dan clean,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang Uni Eropa (Eurocham) di Indonesia, Wichard von Harrach menyarankan agar produsen sawit Indonesia menerapkan strategi pemasaran dengan mendekati konsumen Uni Eropa. Strategi ini dinilai ampuh untuk membendung kampanye hitam terkait sawit Indonesia. Alasannya, pasar sawit Uni Eropa masih terbuka lebar lantaran sawit dibutuhkan.
“Seluruh produsen sawit harus menjelaskan kepada konsumen Uni Eropa apa yang mereka kerjakan terkait keberlanjutan dan kelangsungan lingkungan hidup, karena mereka tidak bisa mengharapkan pemerintah mendorong penggunaan sawit kepada konsumen,” jelasnya.
Menurut dia, efek dari keberlanjutan lingkungan akan sangat bagus untuk meyakinkan konsumen eropa agar kembali membeli produk minyak kelapa sawit Indonesia.
“Pemerintah tidak bisa memaksa konsumen untuk memakai produk sawit dari Indonesia, walau kami tau produk Indonesia sangat fantastis. Tapi kami juga harus melindungi lingkungan demi kepentingan anak cucu kita,” tandasnya.
Sebelumnya, pada perundingan ke-7 ada 16 isu yang dibahas mulai dari perdagangan barang, energi dan bahan baku, keterangan asal, bea cukai dan fasilitasi perdagangan, sanitasi dan fitosanitasi, instrumen pengamanan perdagangan, perdagangan jasa, investasi, usaha kecil menengah (UKM), hak kekayaan intelektual, belanja negara, kerjasama ekonomi dan peningkatan kapasitas, perdagangan dan pembangunan berkelanjutan, transparansi dan praktik penerapan peraturan yang baik, kelembagaan dan hasil kesepakatan akhir, penyelesaian sengketa, serta hambatan teknis perdagangan dan perusahaan milik negara. Sedangkan isu sistem pengadilan persaingan dan investasi (ICS) tidak dibahas pada putaran itu.
IEU CEPA saat ini menjadi prioritas perundingan dagang yang akan diselesaikan selain perjanjian kerja sama komperhensif regional (RCEP). Sebelumnya Indonesia telah menyelesaikan perundingan dengan Australia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA).
Berdasarkan data Kemdag, ekspor Indonesia ke EU tahun 2018 sebesar US$ 17,1 miliar. Sementara impor Indonesia dari EU sebesar US$ 14,1 miliar. Total perdagangan Indonesia dengan EU meningkat 8,29% dibandingkan pada tahun 2017 lalu.
EU sendiri merupakan tujuan ekspor dan asal impor non migas terbesar ke-3 bagi Indonesia. Indonesia juga mencatatkan surplus neraca dagang dengan EU selama 5 tahun terakhir. Sementara nilai investasi EU di Indonesia tercatat senilai US$ 3,2 miliar pada 2017. (AT)
,’;\;\’\’
Discussion about this post