ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sebuah terobosan besar datang dari Indonesia melalui proyek Bukit Algoritma. Proyek ini dirancang untuk membawa Indonesia keluar dari ketertinggalan dalam dunia inovasi dan teknologi.
Menurut Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia sekaligus CEO KSO (Kerja Sama Operasi) Bukit Algoritma, Budiman Sujatmiko, Indonesia masih terhambat dalam mengembangkan kemandirian teknologi.
“Hal ini disebabkan oleh kecanggungan bangsa Indonesia dalam memadukan Demand Readiness Level (DRL) dan Technology Readiness Level (TRL),” kata Budiman saat berbicara di forum webinar HIMPERINDO (Himpunan Perekayasa Indonesia) bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, Kepala BPPT (Badan Pengajian & Penerapan Teknologi), Hammam Riza, dan Kepala BRIN (Badan Riset & Inovasi Nasional), Laksana Tri Handoko, Kamis 27 April 2021.
Akibat kondisi ini kata Budiman, inovasi hasil riset dan pengembangan produk dari berbagai peneliti banyak yang tidak termanfaatkan sepenuhnya atau hanya berakhir sebagai dokumen yang manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat atau pengguna.
“Hal tersebut terjadi karena adanya permasalahan dalam proses pengembangan teknologi inovasi hasil riset yang tidak cocok dengan kesiapan pasar menyerap teknologi tersebut,” imbuhnya.
Budiman mengungkapkan, tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) merupakan metode pengukuran kematangan atau kesiapan dari pengembangan produk teknologi tertentu.
“Permasalahan inovasi teknologi tersebut dapat diselesaikan apabila pada tahap pengembangan teknologi dilakukan penilaian secara objektif menggunakan TRL untuk mengetahui teknologi tersebut telah siap atau belum untuk dikomersialisasikan,” papar Budiman.
Budiman mencontohkan, negara yang siap dalam merepresentasikan DRL maupun TRL adalah Amerika Serikat (AS) dan China yang masing-masing memakai pendekatan pasar dan negara.
Sementara Indonesia lanjut Budiman, hanya sebatas ‘tanam, gali, tebang dan jual’. Padahal di lain pihak sekarang permintaan pasar teknologi sangat tinggi, akibatnya pasar mencari jalan yang instan dan mengandalkan impor.
“Ketika menyangkut teknologi akhirnya mencari merek yang lebih branded, karena perilaku konsumen teknologi Indonesia tidak mendukung kemandirian teknologi. Karena masyarakat Indonesia, terutama yang di perkotaan, banyak mengejar merek dalam.berbelanja teknologi. Padahal produk teknologi dalam negeri banyak berkualitas,” ungkap Budiman.
Lebih jauh Budiman mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia masih minder memasarkan produk teknologinya meskipun negara-negara asing berpandangan bahwa potensi pasar teknologi bangsa ini sangat besar.
Oleh karenanya, Budiman menjelaskan bahwa Bukit Algoritma menawarkan pengembangan teknologi rekayasa teknologi yang memadukan DRL dan TRL berbasis komunitas sebagai alternatif pendekatan pasar dan negara yang banyak dilakukan AS (Amerika Serikat), China dan negara-negara maju lain.
Diharapkan dengan pendekatan DRL dan TRL berbasis komunitas ini maka dampak sosial, budaya dan ekonomi akan lebih besar bagi kebangkitan teknologi bangsa Indonesia menuju bangsa berbasis pengetahuan (knowledge-based nation).
Sebagai referensi, proyek Bukit Algoritma di wilayah Cibadak dan Cikidang Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini akan menelan investasi senilai Rp 18 triliun. Proyek ini disebut akan dibangun seperti Silicon Valley di Amerika Serikat. (ATN)
Discussion about this post