ASIATODAY.ID, JAKARTA – Usianya masih muda. Tapi soal kepeduliannya terhadap Indonesia jangan diragukan. Ketika banyak anak muda tengah sibuk dengan kehidupan hedonis, Satya Hangga Yudha Widya Putra demikian pemuda itu, sudah memikirkan tentang Indonesia ke depan.
Dalam sebuah perbincangan dengan Asiatoday.id, belum lama ini, putra Wakil Ketua Komisi I DPR Satya W. Yudha ini, sangat antusias ketika berbicara tentang isu energi yang menjadi bahan kajian dan diskusinya selama ini.
“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk telah melampaui 262 juta orang, meliputi 17.000 pulau, dan terdiri atas 34 provinsi, tidak hanya kaya budaya, bahasa, etnis, agama, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga sumber energi baru dan terbarukan,” ujarnya bersemangat.
Ia melanjutkan, dengan Kesepakatan Paris, yang telah diratifikasi dan dikonversi menjadi undang-undang, di mana kita harus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional, serta tujuan nasional kita untuk meningkatkan energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen dari total bauran energi nasional pada 2025 dan 31 persen pada 2050, maka menjadi sangat penting bagi Indonesia meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan.
“Indonesia juga kaya bahan bakar fosil, namun bahan bakar fosil mengeluarkan emisi gas rumah kaca dalam skala yang tidak kecil, bahan bakar fosil tidak ramah lingkungan, dan bahan bakar fosil tidak berkelanjutan,” tuturnya.
Karena itu, kata Hangga, untuk alasan keamanan energi dan kedaulatan energi, Indonesia harus beralih ke tipe energi yang lebih aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, yaitu energi baru dan terbarukan.
Hangga optimistis, PT PLN (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) di bidang listrik dan satu-satunya pembeli listrik, telah membuat kemajuan dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan di negara ini.
Tahun ini, Indonesia mengharapkan tiga proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yaitu Sorik Marapi 40 MW, Lumut Balai Unit 1 55 MW, dan Muara Laboh 80 MW mulai beroperasi.
“Di sisi lain, proyek senilai 300 juta dolar Amerika Serikat yakni PLTP Dieng 2 dan Patuha 2, yang dijalankan PT Geo Dipa akan menambah kapasitas masing-masing menjadi 60 MW,” ujarnya.
*
Satya Hangga Yudha Widya Putra (Hangga), B.A. (Hons), MSc, adalah salah satu Pendiri dan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Duta dan Alumni Jakarta Intercultural School (JIS), dan Dewan Penasihat Maritim Muda Nusantara.
Hangga telah meraih gelar Master of Science dalam Kebijakan Energi dan Lingkungan Hidup (IPK > 3,80) (Magna Cum Laude) dari New York University (NYU). Studinya di NYU sepenuhnya didanai oleh Kementerian Keuangan Indonesia (LPDP PK-51).
Hangga juga memegang gelar Sarjana Ekonomi dari Michigan State University (MSU) di mana dia menjadi anggota Honors College dan dapat lulus dalam 3 tahun dari 4 tahun program. Sebagai Mahasiswa Sarjana, Hangga menyelesaikan kursus di Harvard University dan University of California, Los Angeles (UCLA).
Hangga sering menulis artikel opini untuk Jakarta Globe, The Jakarta Post, Majalah Globe Asia Business, RILIS.ID, Kumparan, dan Suara Banyuurip. Dia telah dikutip dan ditulis di berbagai macam media outlet seperti The Christian Science Monitor, The American Spectator, Majalah Registry, Indonesia Economic Forum (IEF), NYU Global Citizen, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Pertamina, ANTARA News, Investor Daily, Suara Investor, Inilah, Lintas Parlemen, Warta Ekonomi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Indonesia, dan banyak outlet media internasional dan nasional terkemuka lainnya.
Sepanjang hidupnya, Hangga telah tinggal di 5 negara yaitu Amerika Serikat, Inggris, Cina, Vietnam, dan Indonesia, dan bepergian ke lebih dari 33 negara.
*
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kata Hangga, Pemerintah Indonesia telah mendorong penggunaan transportasi umum seperti moda raya terpadu atau mass rapid transit (MRT), yang telah diresmikan dan dioperasikan di Jakarta.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga berinvestasi dalam moda transportasi listrik dan ini terbukti dari dukungan pemerintah untuk sepeda motor listrik Gesits, inisiatif perusahaan Blue Bird untuk mengimpor dan menggunakan kendaraan listrik untuk taksi mereka dan langkah Transjakarta memiliki dua bus listrik.
“Inisiatif ini diharapkan mendukung program Pemerintah Indonesia terkait Program Langit Biru, yang bertujuan mengendalikan polusi udara untuk mewujudkan kesadaran ramah lingkungan,” ujarnya.
Tapi sayangnya, kata Hangga, Pemerintah Indonesia masih memprioritaskan harga dibandingkan sumber energinya karena biaya awal energi baru dan terbarukan, yang tinggi, dan harga listriknya juga lebih tinggi dibandingkan dengan fosil, seperti batubara dan gas.
Karena itu, kata Hangga, mengelompokkan beberapa proyek kecil ke dalam satu kesepakatan investasi energi baru dan terbarukan, yang besar dan bisa mendapatkan dukungan dari lembaga keuangan, akan sangat membantu untuk mengatasi masalah ini.
“Terlepas dari kenyataan bahwa kita masih memiliki cadangan bahan bakar fosil, yang besar dan dapat dieksploitasikan untuk kebutuhan listrik dan transportasi, namun karena Perjanjian Paris, tujuan energi nasional kita, dan lingkungan kita, maka akan sangat penting bagi kita beralih ke energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan tahan lama,” Hangga menegaskan.
,’;\;\’\’
Discussion about this post