ASIATODAY.ID, JAKARTA – Setelah menghentikan ekspor bijih nikel mulai 2020, Indonesia kembali akan mempercepat penghentian ekspor mineral mentah lainnya. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan di Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
“Kalau kita sudah ada investor yang masuk untuk hilirisasi di timah, di aspal, alumina, bauksit dan sebagainya, kenapa tidak kita hentikan ekspor,” tegas Luhut.
Menurut Luhut, keputusan untuk melarang ekspor mineral mentah lainnya akan diambil secara cermat dengan melihat seberapa besar kapasitas di dalam negeri. Pasalnya, selama ini Indonesia masih mengandalkan ekspor mineral mentah ke luar negeri, sehingga nilainya rendah.
Misalnya, selama ini hampir 98 persen nikel mentah diekspor ke China. Padahal, Indonesia bisa memprosesnya di dalam negeri.
“Kan bisa kalau mau diproses di dalam, dengan listrik yang lebih murah,” jelas Luhut.
Dengan pengolahan di dalam negeri kata Luhut, nikel bisa menghasilkan nilai sebesar US$ 34 miliar karena dijadikan baterai lithium dan daur ulang lithium. “Sekarang sudah lebih US$ 10 miliar, jadi kira-kira yang lain juga akan dilihat angkanya,” Luhut menuturkan.
Luhut mengatakan ke depannya mesti ada pengorbanan untuk mendorong hilirisasi sehingga dalam beberapa tahun kedepan akan ada nilai tambah dari produk Indonesia. Saat ini, industri pengolahan nikel tengah dikembangkan, salah satunya di Morowali, Sulawesi Tengah.
Dengan pengembangan industri mineral. kata Luhut, imbasnya bukan hanya kepada nilai tambah produk namun juga kepada lapangan kerja.
Saat ini kata Luhut, pemerintah sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa pihak dari beberapa negara untuk memproses bauksit dan alumunium di dalam negeri. Untuk bauksit saja, ia membidik investasi lebih dari US$ 10 miliar. Penjajakan juga dilakukan untuk konsentrat tembaga.
“Itu sama juga. Pengalaman Freeport, masa 50 tahun nggak ada nilai tambah. Mau kita ulangi lagi kebodohan kita? Tentu tidak,” ketus Luhut.
Luhut mengatakan, Indonesia sudah mengalami pertumbuhan ekspor negatif sejak triwulan I 2019 lantaran terimbas penurunan harga komoditas seperti minyak sawit, batubara, hingga karet.
“Karena kita bergantung kepada harga komoditas dan enggak ada added value,”tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post