ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja menerbitkan persetujuan dan kuota ekspor baru mineral tembaga bagi PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) untuk periode setahun ke depan.
Menurut Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak, kedua perusahaan ini telah mendapatkan surat persetujuan ekspor (SPE) baru dimana perpanjangan rekomendasi PTFI per 16 Maret dan AMNT per 17 Maret kemarin.
“PTFI dan AMNT telah mendapatkan rekomendasi dan perpanjangan ekspor baru dimana juga terjadi kenaikan kuota ekspor,” jelas dia melalui keterangannya, Jumat (3/4/2020).
Kementerian ESDM boleh saja menerbitkan rekomendasi dan kuota ekspor mineral tembaga bagi PTFI dan AMNT, namun bagaimana dengan komoditi tambang nikel?
Kalangan penambang nikel mendesak pemerintah membuka keran ekspor bijih nikel berkadar rendah setelah dilakukan pelarangan sejak awal Januari ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan saat ini kondisi para penambang nikel semakin terpuruk akibat pandemi Virus Corona (Covid-19) setelah larangan ekspor nikel diawal Januari ditutup.
“Beberapa perusahaan sudah melakukan penghentian produksi,” ujar dia dalam keterangannya yang diterima Sabtu (4/4/2020).
Berhentinya sejumlah operasi penambangan nikel ini karena adanya kendala operasi karena pembatasan wilayah oleh Pemerintah Daerah sehingga berdampak pada tenaga kerja yang sulit masuk area produksi akibat Covid-19.
“Tidak semua smelter atau fasilitas pemurnian menjalankan operasi semua line sehingga permintaan nikel ore mengalami penurunan,” katanya.
Menurut Meidy, kondisi saat ini smelter lokal hanya menerima kadar ore tinggi yakni di atas 1,8 persen. Dengan kata lain, kadar rendah di bawah 1,8 persen tidak diterima oleh smelter lokal.
“Smelter lokal yang hanya menerima kadar 1,8 persen ini berdampak banyak ilegal mining, penambang mencari sumber-sumber baru untuk bisa mendapatkan nikel kadar tinggi 1,8 persen,” urainya.
Smelter lokal dinilai terlalu selektif menerima nikel ore yang gradenya tinggi dengan jenis sio, mgo, dan fe. Sementara, apabila diekspor tak ada selektif kualitas nikel alias para buyer di luar negeri menerima kualitas apapun.
Tak hanya itu, harga beli nikel oleh smelter di dalam negeri pun sangat rendah yakni hanya USD18 per ton free on board (FoB), dimana di bawah biaya produksi penambang yang sebesar USD20 per ton.
“Smelter lokal prioritas membeli ore hanya kepada anak perusahaan sendiri atau tambang sendiri,” jelasnya.
Hingga saat ini, pemerintah belum mengeluarkan beleid ketentuan tata niaga nikel domestik, padahal beleid ini dijanjikan akan keluar pada akhir Maret kemarin.
Adapun dalam beleid ini akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai harga dasar jual beli nikel domestik dimana juga akan diatur batas bawah dari HPM tersebut.
Lalu dalam beleid ini juga akan diberikan sanksi bagi smelter maupun penambang apabila tak mengikuti aturan. Selain itu juga akan diatur wasit surveyor antar kedua belah pihak agar adil.
“Kami berharap agar beleid ini segera keluar yang mengatur HPM dan tata niaga nikel domestik,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo memandang bahwa relaksasi ekspor bijih (ore) nikel ini dapat dilakukan di tengah pandemi virus corona.
Kendati demikian kata dia, besaran produksi tambang nikel tetap harus dirasionalkan karena daerah tambang mineral ada di remote area dan kondisi jumlah rumah sakit dan fasilitas daerah maupun fasilitas korporat tentu sangat terbatas.
“Evalusi kondisi wilayah, jumlah tenaga kerja dan kondisi Covid-19 justru semestinya dipetakan terlebih dahulu. Benar tujuan dibuka untuk menyelamatkan ekonomi, tetapi yang terpenting kesehatan keseluruhan pekerja juga perlu dijaga. Jangan sampai pemerintahan kabupaten juga merasa terganggu kalau langkah yang kabupaten lakukan tidak sinkron dengan perusahaan tambang,” ujarnya.
Menurut Singgih, perlu dilakukan koordinasi dan komunikasi penanganan Covid 19, potensi relaksasi, dan volume potensi ekspor harus diletakkan bersama bukan sebatas kepentingan ekonomi, melainkan juga langkah preventif untuk menjaga penyebaran Covid-19 harus dilakukan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar berpendapat bahwa hampir semua sektor terhambat karena Covid-19.
Oleh karena itu, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan atau diskresi untuk relaksasi dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu untuk dapat melakukan ekspor nikel.
“Hal ini semata-mata untuk mendukung pemulihan ekonomi dan mendukung recovery sektor yang lain akibat Covid-19,” imbuhnya.
Namun, keran ekspor bijih nikel ini harus diberi batas waktu tertentu sampai Covid-19 ini berakhir.
“Ini pengecualian dan diskresi khusus untuk kondisi darurat. Jadi, dikeluarkan dalam bentuk kebijakan atau peraturan khusus untuk batas waktu tertentu karena Covid-19 ini saja,” terang Bisman.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI dari Partai Demokrat Sartono Hutomo sependapat dengan tuntutan Kadin. Presiden Jokowi harus melakukan relaksasi tidak hanya impor tetapi juga ekspor. Pasalnya, ekonomi Indonesia sudah dalam level bahaya menyusul dampak pandemi global virus corona baru (Covid-19).
“Setuju ada relaksasi ekspor apapun caranya untuk mendatangkan devisa tetapi tidak menabrak undang-undang,” kata Sartono.
“Pemerintah memang harus menyelamatkan manusia dan juga ekonominya. Nanti harus kita bahas dalam rapat kerja. Tapi karena reses diundur, jadinya buah simalakama,” tambah Sartono.
Sartono sangat memahami keluhan Kadin termasuk yang bergerak dalam bidang pertambangan seperti nikel. Mereka telah menanam investasi yang tidak sedikit dan menyerap tenaga kerja yang banyak. Sementara rupiah sudah terpuruk hingga level mendekati Rp17.000.
“Dalam situasi ekonomi kita yang berbahaya bahkan mungkin defisit anggaran kita bisa melebihi ketentuan UU maksimal 3 persen, pemerintah harus mengeluarkan stimulus. Harus ada kebijakan terbatas atau kebijakan ekstra khusus bagi pertambangan bagaimana kita agar segera mendapatkan devisa,” ujar Sartono.
Menurut dia, pemerintah tidak bisa lagi guyonan menghadapi dampak pandemi sekarang ini. Semua asumsi meleset dari mulai kurs dolar, pendapatan pajak, defisit, harga minyak dan banyak lagi.
“Intinya bagaimana ekonomi biar selamat, makanya saya bilang kalau itu bisa juga memberikan dampak sektor minerba bisa menggerakan ekonomi mengapa tidak dilonggarkan ekspor,” ujar anggota DPR dari Dapil Jatim VII ini.
“Tidak hanya memperlonggar ekspor, juga mungkin termasuk bagaimana caranya agar negara ikut memberikan insentif dalam hal pertumbuhan hilirisasi minerba kita,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post