ASIATODAY.ID, JAKARTA – Warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat mengecam kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) serta Bahrain yang ditandatangani di Gedung Putih, Washington D.C., Amerika Serikat, pada Selasa (15/9/2020).
Melansir Middle East Eye, Rabu (15/9/2020), pemerintah Palestina maupun gerakan Hamas mengutuk perjanjian yang ditengahi oleh AS tersebut sebagai penghianatan bagi rakyat mereka.
Mulai Selasa pagi waktu setempat, aksi protes digelar di wilayah Tepi Barat tepatnya di Ramallah, Tulkarem, Nablus, Yerikho, Jenin, Bethlehem, Hebron, di daerah-daerah kecil lainnya, serta di Jalur Gaza.
Aksi tersebut dimulai pada pukul 11.00 waktu setempat di seluruh Tepi Barat yang diduduki Israel. Pengunjuk rasa meneriakkan dan memegang poster yang berisi kecaman normalisasi, dan mendesak negara-negara Arab bersatu untuk melawan Israel.
Bentrokan kecil terjadi antara pemuda Palestina dan pasukan Israel di Bab al-Zaweya di akhir unjuk rasa.
Perwakilan dari Pasukan Nasional dan Islam di Hebron, Fahmy Shaheen, mengatakan aksi protes di kotanya mencerminkan kemarahan yang berlangsung hampir setiap hari atas konfrontasi antara penduduk Palestina dengan pemukim dan militer Israel karena perluasan pemukiman ilegal di kota bersejarah itu.
“Kami menyatakan penolakan kami terhadap normalisasi karena itu terjadi dengan mengorbankan hak dan pengorbanan rakyat Palestina,” kata Shaheen.
Melalui panggilan telepon pada Selasa, Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, mengatakan kepada Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, bahwa semua faksi Palestina bersatu menentang kesepakatan tersebut.
Dia juga mengatakan “tidak akan membiarkan perjuangan Palestina menjadi jembatan untuk pengakuan dan normalisasi dengan kekuasaan pendudukan dengan mengorbankan hak-hak nasional kami, Yerusalem kami, dan hak untuk kembali”.
Di hari yang sama, sebuah kelompok masyarakat sipil yang mewakili berbagai faksi menyerukan “hari pemberontakan rakyat”. Kelompok itu bernama Persatuan Kepemimpinan Palestina untuk Perlawanan Rakyat (UPLPR). Gerakan itu dibentuk menyusul pertemuan antara para pemimpin semua faksi politik Palestina di Beirut, Libanon, pada pekan lalu.
Dalam pernyataan pertamanya, UPLPR menyerukan protes nasional di seluruh wilayah Palestina untuk menuntut pembatalan kesepakatan normalisasi dan pendudukan Israel.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, beserta diplomat dari UEA dan Bahrain menandatangani kesepakatan normalisasi tanpa kemajuan apa pun dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina.
Pada Senin lalu, Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh, menggambarkan kesepakatan itu sebagai “hari hitam” lainnya bagi dunia Arab.
“Ini akan menjadi tanggal lain untuk menambah kalender penderitaan Palestina,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa pemerintah Palestina harus “memperbaiki” hubungannya dengan Liga Arab.
Israel, UEA, dan Bahrain resmi menormalisasi hubungan mereka dengan menandatangani perjanjian Abraham Accord di Gedung Putih, Washington D.C., AS. Presiden AS Donald Trump menyatakan perjanjian ini bakal mengubah alur sejarah. (ATN)
Discussion about this post