ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan salah satu alasan mempercepat larangan ekspor bijih nikel agar bisa diolah melalui smelter dalam negeri untuk menjadi baterai dalam rangka mendukung percepatan pengembangan mobil listrik di Indonesia.
“Intinya, nikel tersebut nantinya dapat menghasilkan komponen yang berguna untuk membangun industri baterai dalam rangka untuk percepatan pengembangan mobil listrik,” terang Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Gatot Ariyono di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019).
Bambang menuturkan, ada empat smelter yang menggunakan teknologi hydrometalurgi guna mendorong percepatan industri mobil listrik di dalam negeri dan seluruhnya merupakan investor dari China.
Pertama, smelter milik PT Huayue Nickle Cobalt yang terletak di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Smelter dengan nilai investasi USD1,28 miliar ini memiliki kapasitas pengolahan sebesar 11 juta ton bijih nikel per tahun. Adapun kapasitas yang dihasilkan berupa nikel sebesar 60 ribu ton dan cobalt sebesar 7.800 ton.
Kedua smelter milik PT QMB New Energy Material yang terletak di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun smelter ini mencapai USD998,47 juta.
Smelter ini mampu mengolah lima juta ton bijih nikel per tahun. Dengan kapasitas yang dihasilkan berupa 50 ribu ton nikel per tahun dan 4.000 ton cobalt.
Ketiga smelter milik PT Halmahera Persada Lygend dengan salah satu pemilik sahamnya dari Harita Group (PT Trimegah Bangun Persada). Smelter ini membutuhkan investasi sebesar USD 10,61 miliar.
Smelter ini memiliki kapasitas pengolahan mencapai 8,3 juta wet ton bijih nikel per tahun. Serta memililiki kapasitas yang dihasilkan berupa mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat dan cobalt sulfat sebesar 278.534 ton.
Keempat smelter milik PT Smelter Nikel Indonesia yang memiliki kapasitas pengolahan sebesar 2,4 juta ton bijih nikel per tahun serta kapasitas yang dihasilkan berupa MHP, nikel sulfat dan cobalt sulfat sebesar 76.500 ton.
Total kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada 2021 akan mencapai 27 juta ton per tahun. Adapun jumlah smelter yang memiliki izin pembangunan sebesar 36 pabrik. Dari jumlah tersebut, 11 di antaranya telah beroperasi dan 25 sisanya masih dalam progres pembangunan.
Lebih jauh Bambang menjelaskan, dari 11 smelter tersebut kapasitas bijih nikel yang dibutuhkan untuk diolah sebesar 24,1 juta ton. Sedangkan untuk keseluruhan smelter kapasitas bijih nikel yang dibutuhkan mencapai 81 juta ton pada 2022.
Sementara itu, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel agar bisa diolah di smelter dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Salah satunya untuk menjadi baterai lithium dalam rangka percepatan pengembangan mobil listrik.
Luhut mengatakan, saat ini investasi pembangunan smelter nikel sudah mencapai USD10 miliar. Angka tersebut akan bertambah dalam kurun waktu lima tahun ke depan dengan nilai investasi mencapai USD19 miliar hingga USD20 miliar.
“Sampai 2024 akan mendekati USD30 miliar. Malah saya pikir angka itu akan lebih besar dari itu,” kata Luhut ditemui di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019).
Luhut memandang, Indonesia akan menjadi pemain global dalam industri lithium baterai sejalan dengan perkembangan kendaraan listrik. Sebab Indonesia memiliki potensi nikel yang sangat besar. Nikel merupakan salah satu komponen terbesar dalam pembuatan baterai. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post