ASIATODAY.ID, JAKARTA – ASEAN Heritage Parks (AHP) adalah kawasan lindung terpilih di kawasan Asia Tenggara yang dikenal karena keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang unik, hutan belantara dan nilai-nilai luar biasa dalam pemandangan, budaya, pendidikan, penelitian, rekreasi dan pariwisata.
Di Indonesia ada tujuh (7) Taman nasional yang dideklarasikan menjadi ASEAN Heritage Parks yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Taman Nasional Wakatobi dan Taman Nasional Lorentz.
Berikut 7 Taman Nasional tersebut beserta keunikannya;
(1) Taman Nasional Gunung Leuser
Taman Nasional Gunung Leuser menyandang 2 status yang berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia pada tahun 2004. Kedua status tersebut ditetapkan oleh UNESCO dan World Heritage Committee atas usulan Pemerintah Indonesia setelah melalui rangkaian proses seleksi yang ketat. Disamping itu terdapat nilai eksistensi lain yang menjadi potensi dari TNGL.
Pertama, Cagar Biosfer
Cagar Biosfer didefinisikan sebagai kawasan ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh Program Man and the Biosphere UNESCO (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam. Cagar Biosfer melayani perpaduan tiga fungsi yaitu (1) kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, spesies, dan plasma nutfah, (2) menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya, dan (3) mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan, dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional, maupun global.
Sebagai hasil KTT Bumi 1992, berbagai fungsi Cagar Biosfer serta Jaringan Cagar Biosfer Dunia telah didefinisikan dan diuraikan dalam “Strategi Seville dan Kerangka Hukum Jaringan Dunia” (LIPI, 2004).
Kedua, Warisan Dunia (World Heritage)
Konvensi Warisan Dunia (World Heritage Convention) mengenai Perlindungan Warisan Budaya dan Alam diadopsi pada sidang ke-17 Konferensi Umum UNESCO di Paris tanggal 16 November 1972, dan berlaku efektif sejak 17 Desember 1975. Sampai dengan bulan Maret 2005, Konvensi Warisan Dunia telah diratifikasi oleh lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 29 tahun 1989. Hingga tahun 2006, terdapat 830 situs di 138 negara yang telah tercantum di dalam Daftar Warisan Dunia, terdiri dari 644 situs budaya, 162 situs alami dan 24 situs campuran.
Warisan Dunia adalah warisan yang: (1) Terdiri dari Warisan Alam dan Warisan Budaya, (2) Melestarikan warisan yang tidak dapat digantikan dan warisan yang memiliki “Nilai Universal Istimewa”, (3) Perlu melindungi warisan yang tidak dapat dipindahkan, dan (4) Menjadi tanggungjawab kesadaran dan kerjasama kolektif international (UNESCO, 2004).
Ketiga, Laboratorium Alam
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan. MacKinnon and MacKinnon (1986) menyatakan bahwa Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh kawasan Indo Malaya. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata.
Merupakan kawasan dengan daftar burung terpanjang di dunia dengan 380 spesies, dimana 350 diantaranya merupakan spesies yang tinggal di Leuser. Leuser juga rumah bagi 36 dari 50 spesies burung “Sundaland”. Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini.
Ekosistem Leuser merupakan habitat Orang Utan Sumatera (Pongo abelii), harimau Sumatera (Panthera tigris), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), owa (Hylobathes lar), kedih (Presbytis thomasii), dan masih banyak yang lainnya. Di samping rumah bagi berbagai fauna kunci, di Taman Nasional Leuser juga terdapat lebih dari 4.000 spesies flora. Juga ditemukan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit Rafflessia di Leuser. Demikian pula, Leuser merupakan tempat persinggahan dari banyak jenis tumbuhan obat (Brimacombe & Elliot, 1996).
Sebagai laboratorium alam, TNGL merupakan surga bagi para peneliti (internasional dan nasional). Stasiun Riset Orangutan di Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara misalnya, telah menjadi salah satu Stasiun Riset terbesar dan berpotensi sebagai pangsa pasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Keempat, Sistem Penyangga Kehidupan (life support system)
Taman Nasional Gunung Leuser menyediakan suplai air bagi 4 (empat) juta masyarakat yang tinggal di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Hampir 9 (sembilan) kabupaten tergantung pada jasa lingkungan TNGL, yaitu berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilindungi oleh TNGL dan Ekosistem Leuser sebanyak 5 (lima) DAS di wilayah Provinsi Aceh, yaitu DAS Jambo Aye, DAS Tamiang-Langsa, DAS Singkil, DAS Sikulat-Tripa, dan DAS Baru-Kluet. Sedangkan yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah DAS Besitang, DAS Lepan, dan DAS Wampu Sei Ular.
Studi yang dilakukan oleh Beukering, dkk (2003) mensinyalir bahwa Nilai Ekonomi Total Ekosistem Leuser, termasuk TNGL di dalamnya, dihitung dengan suku bunga 4% selama 30 tahun adalah USD 7.0 milyar (bila terdeforestasi), USD 9.5 milyar (bila dikonservasi), dan USD 9.1 milyar (bila dimanfaatkan secara lestari). Hal ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi kawasan hutan di Ekosistem Leuser dan TNGL sangat besar dalam mendukung sistem penyangga kehidupan (life support system) dan keberlanjutan pembangunan (sustainable development) khususnya di daerah hilir.
Kelima, Wisata Berbasis Ekologis (Ekowisata)
Terdapat sedikitnya 8 lokasi potensial untuk pengembangan ekowisata di kawasan TNGL. Lokasi-lokasi tersebut adalah Kruengkila, Kedah, Marpunge, Lawe Gurah, Tangkahan, Rantau Sialang, Danau Laut Bangko, dan Bukit Lawang. Selain ke-8 lokasi tersebut, masih didapati 4 lokasi sebagai Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) yang juga memiliki potensi pengembangan, yaitu: Muara Situlen, Marike, Sei Glugur, dan Sei Lepan.
Salah satu obyek wisata yang menjadi primadona adalah Bukit Lawang dengan ikon orangutan dan ”tracking in the jungle”. Kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara mengalir ke lokasi tersebut.
Disamping Bukit Lawang, terdapat lokasi lain yang tidak kalah pentingnya yaitu Tangkahan. Tangkahan merupakan potret Bukit Lawang di awal 1970-an. Pengembangan ekowisata Tangkahan merupakan anomali, karena tidak dimulai dengan latar belakang sekedar pengembangan ekowisata. Tetapi juga untuk mengembangkan upaya-upaya perlindungan kawasan taman nasional, sebagai aset ekowisata.
Inisiatif Tangkahan dimulai pada akhir tahun 1999 dengan fokus desa sebagai basis pengamanan kawasan TNGL, sehingga baru pada 22 April 2001 dibentuk Tangkahan Simalem Ranger, dan dilanjutkan dengan dikukuhkannya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada 19 Mei 2001. MoU pertama antara Balai TNGL dengan LPT ditandatangani pada 22 April 2002. Pengembangan ekowisata ditingkatkan lagi setelah Indecon mendampingi proses mulai September 2002.
Pola pengamanan TNGL ditingkatkan dengan dibentuknya Conservation Response Unit (CRU) bekerjasama dengan FFI pada Januari 2003. Dengan demikian pengembangan ekowisata merupakan langkah baru dan berbeda dengan latar belakang pengembangan wisata di Bukit Lawang. Setiap turis mancanegara yang pulang dari Tangkahan selalu berpesan ingin melihat Tangkahan seperti kondisi saat ini (komunikasi pribadi dengan Wak Yun, salah seorang pegiat pengembangan ekowisata Tangkahan).
Mereka tidak menhendaki mass-tourism terjadi di Tangkahan. Akhirnya para 24 September 2004, inisiatif Tangkahan mendapatkan penghargaan “Inovasi Kepariwisataan Indonesia“ oleh Menbudpar R.I, I Gede Ardika.
Beberapa lokasi potensial lainnya terdapat di Provinsi Aceh. Pengembangan ekowisata di provinsi ini menjadi peluang pangsa pasar di masa yang akan datang. Misalnya, Sungai Alas dengan event rafting, pendakian puncak-puncak gunungnya seperti di puncak Leuser dan puncak Bendahara, pembukaan kembali Gurah, wisata pantai dan pengamatan penyu di Singgamata, penelusuran Danau Bangko, pengamatan burung di Agusan, trekking Rafflesia di Ketambe, dan lain sebagainya. Pengembangan wisata alam di wilayah Aceh merupakan peluang besar, terlebih dengan memadukan kearifan lokal berbasiskan nilai-nilai budaya dan agama menjadi faktor penentu keberhasilan pengembangan wisata alam di Aceh.
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi yang juga menjadi destinasi pariwisata di Sumatera Utara. Bukit Lawang dan Tangkahan merupakan dua tempat yang menjadi primadona pariwisata wilayah yang ditunjuk oleh UNESCO sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS). Tangkahan berada di Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Prov.Sumatera Utara memiliki daya tarik utama gajah sumatera. Pengunjung dapat memandikan gajah sekaligus menikmati petualangan berpatroli bersama gajah dan pelatihnya menyusuri Tangkahan.
Sedangkan di Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, pengunjung dapat melihat orang utan semi liar hasil rehabilitasi di habitatnya secara langsung. Selain satwa tersebut, pengunjung dapat menikmati keindahan panorama hutan dengan trekking maupun aktivitas tubing alias menyusuri sungai dengan ban.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan kekayaan alam yang secara terus menerus memberikan manfaat “jasa lingkungan” terhadap kehidupan manusia, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut. Taman Nasional berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air, pengedali iklim mikro dan penyerap karbon. Mempertahankan keberadaan hutan kadang juga dipandang sebagai hal yang menghalangi pembangunan, namun sumberdaya alam dan jasa lingkungan inilah yang sebenarnya menjadi penyokong kehidupan.
Keanekaragaman hayati yang tinggi menjadikan Taman Nasional Kerinci Seblat ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Raflesia arnoldi, Raflesia hasseltii, dan pohon pinus khas Kerinci hanya sebagian kecil flora taman nasional ini.
Situs Warisan Dunia ini gabungan dari tiga taman nasional di gugusan Bukit Barisan di Sumatera. Secara terpadu kawasan ini dinamakan Tropical Rainforets Heritage of Sumatera (TRHS).
Sesuai namanya, nilai penting bentang alam kawasan adalah sejarah alam hutan hujan tropis Sumatera, lengkap dengan aneka tipe ekosistem, dari dataran tinggi sampai lautan, serta keragaman hayati. Situs ini juga menjadi suaka perlindungan bagi tiga mamalia terancam punah: Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Gajah Sumatera.
Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) adalah tempat yang bernilai khusus, terutama terkait dengan peninggalan sejarah, baik alam maupun budaya.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah kawasan yang memiliki nilai penting luar biasa dalam konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alam di Indonesia. Taman Nasional ini memiliki luas kawasan hampir 1,4 juta hektar dan tersebar di empat provinsi di Pulau Sumatera; Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Keragaman topografi dan ekosistem kawasan menjelma menjadi bentang alam yang unik dan indah, seperti kawasan Danau Gunung Tujuh, Gunung Kerinci, Rawa Bento, Goa Kasah, dan lain sebagainya.
Pemandangan alam di utara celah lembah bagian tengah didominasi oleh kerucut gunung berapi Kerinci yang masih aktif, sedangkan di bagian utara dan barat daya terdapat danau kawah, yaitu Danau Tujuh dan Danau Kerinci.
Gunung Kerinci merupakan gunung berapi tertinggi di Sumatra dengan tinggi 3.805 mdpl. Gunung ini merupakan salah satu ikon wisata utama di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Kabupaten Kerinci. Setiap tahunnya, gunung ini didaki oleh lebih kurang 6000 pendaki baik dari dalam maupun luar negeri.
Puncak pendakian para wisatawan biasanya terjadi di bulan Agustus, saat kemerdekaan Republik Indonesia, dan bulan Desember menjelang pergantian tahun. Selain untuk pendakian (hiking) Gunung Kerinci juga merupakan lokasi favorit untuk kegiatan berkemah, pengamatan burung, penelusuran hutan, pendidikan lingkungan dan pelatihan Search and Rescue (SAR).
Daya tarik Gunung Kerinci sendiri terletak pada tantangan yang harus ditaklukkan ketika mendaki, biodiversitas flora dan fauna yang menyusun hutannya, serta pemandangan indah dan unik yang hanya bisa dinikmati di ketinggian Gunung Kerinci.
Saat ini puncak Gunung Kerinci bisa dicapai dari dua jalur pendakian. Jalur pendakian lama yang sudah banyak dikenal adalah jalur melalui Kersik Tuo di Kabupaten Kerinci.
Sedangkan jalur baru yang diresmikan pada tahun 2016 oleh Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, dimulai dari pintu rimba yang terletak di kaki Bukit Bontak, Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan.
Jalur pendakian Gunung Kerinci melalui Kersik Tuo memiliki daya tarik sendiri bagi pada pecinta pengamatan burung. Jalur ini dihuni lebih dari 41 jenis burung, dan 7 diantaranya termasuk dalam kategori endemik. Salah satu jenis burung langka dan endemik yang sangat menarik bagi para birdwatchers adalah paok schneider atau Hydrornis schneider. Sempat dinyatakan punah di alam, burung ini ternyata masih dapat ditemukan di Gunung Kerinci.
Danau Gunung Tujuh merupakan danau kaldera yang terbentuk akibat kegiatan gunung berapi di masa lampau. Pada ketinggian 1.996 m dpl, danau ini menjadi salah satu danau tertinggi di Asia Tenggara. Danau ini sering ditutupi kabut dengan suhu rata-rata 17 derajat Celcius. Luas Danau ± 960 ha dengan panjang berkisar 4,5 km dan lebar 3 km.
Danau Gunung Tujuh dikenal sebagai Danau Sakti oleh masyarakat Kerinci. Air danau selalu terlihat bersih bahkan daun-daun pun tidak ditemukan walaupun terdapat banyak pohon tumbang di pinggir danau.
Danau Gunung Tujuh merupakan sumber penghidupan bagi beberapa warga desa. Terdapat beberapa pondok dipinggir danau yang digunakan oleh nelayan sebagai tempat tinggal. Sehari-hari para nelayan mencari ikan dengan perahu dan lukah, pagi hari lukah dipasang di tengah danau kemudian sorenya lukah ini diangkat.
Perahu yang digunakan terbuat dari satu kayu bulat utuh dengan diameter berkisar 30-40 cm, kemudian dengan pengerjaan sedemikian rupa kayu bulat ini dibentuk seperti perahu.
Lukah yang digunakan oleh nelayan terbuat dari bilah-bilah bambu yang dianyam. Lukah ini diikat pada bagian tengah tali, pada ujung tali diikatkan botol minuman (sejenis botol air mineral) dan batu pada ujung lainnya sebagai pemberat.
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah taman nasional perlindungan gajah yang terletak di daerah Lampung tepatnya di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, Indonesia. Selain di Way Kambas, sekolah gajah (Pusat Latihan Gajah) juga bisa ditemui di Minas, Riau. Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang hidup di kawasan ini semakin berkurang jumlahnya.
Taman Nasional Way Kambas berdiri pada tahun 1985 merupakan sekolah gajah pertama di Indonesia. Dengan nama awal Pusat Latihan Gajah (PLG) namun semenjak beberapa tahun terakhir ini namanya berubah menjadi Pusat Konservasi Gajah (PKG) yang diharapkan mampu menjadi pusat konservasi gajah dalam penjinakan, pelatihan, perkembangbiakan dan konservasi.
Hingga sekarang PKG ini telah melatih sekitar 300 ekor gajah yang sudah disebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Di Way Kambas juga tedapat International Rhino Foundation yang bertugas menjaga spesies badak agar tidak terancam punah.
Taman Nasional Way Kambas adalah satu dari dua kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional di Propinsi Lampung selain Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 670/Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus 1999, kawasan TNWK mempunyai luas lebih kurang 125,631.31 ha.
Secara gaeografis Taman Nasional Way Kambas terletak antara 40°37’ – 50°16’ Lintang Selatan dan antara 105°33’ – 105°54’ Bujur Timur. Berada di bagian tenggara Pulau Sumatera di wilayah Propinsi Lampung. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas dan Cabang disisihkan sebagai daerah hutan lindung, bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung didalamnya.
Berdasarkan sejarah Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936 oleh Resident Lampung, Mr. Rookmaker, dan disusul dengan Surat Keputusan Gubernur Belanda tanggal 26 Januari 1937 Stbl 1937 Nomor 38.
Pada tahun 1978 Suaka Margasatwa Way Kambas diubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 429/Kpts-7/1978 tanggal 10 Juli 1978 dan dikelola oleh Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam (SBKPA).
Kawasan Pelestarian Alam diubah menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang dikelola oleh SBKSDA dengan luas 130,000 ha. Pada tahun 1985 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/1985 tanggal 12 Oktober 1985. Pada tanggal 1 April 1989 bertepatan dengan Pekan Konservasi Nasional di Kaliurang Yogyakarta, dideklarasikan sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 444/Menhut-II/1989 tanggal 1 April 1989 dengan luas 130,000 ha.
Kemudian pada tahun 1991 atas dasar Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 144/Kpts/II/1991 tanggal 13 Maret 1991 dinyatakan sebagai Taman Nasional Way Kambas, dimana pengelolaannya oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Way Kambas yang bertanggungjawab langsung kepada Balai Konsevasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 13 maret 1997 dimana Sub Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Way Kambas dinyatakan sebagai Balai Taman Nasional Way Kambas.
Sejarah Alasan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan pelestarian alam, adalah untuk melindungi kawasan yang kaya akan berbagai satwa liar, diantaranya adalah tapir (Tapirus indicus), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), enam jenis primata, rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), harimau Sumatera (Panthera tigris), beruang madu.
Saat ini Taman Nasional Way Kambas ditetapkan sebagai kawasan Taman Warisan ASEAN (ASEAN Heritage Park). Penetapan ini menjadikan TNWK sebagai Taman Warisan ASEAN ke-4 di Indonesia atau ke-36 di Asia Tenggara.
Ekosistem
Taman nasional way kambas berada pada ketinggian antara 0—50 mdpl dengan topografi datar sampai dengan landai, kawasan ini mempunyai 4 (empat) tipe ekosistem utama yaitu:
Ekosistem hutan hujan dataran rendah mendominasi di daerah sebelah barat kawasan. Daerah ini terletak pada daerah yang paling tinggi dibandingkan dengan lain. Jenis yang mendominasi adalah meranti (Shorea sp), rengas (Gluta renghas), keruing (Dipterocarpus sp), puspa (Schima walichii).
Ekosistem riparian di way kambas bukan ekosistem lazim yang telah dikenal selama ini. Ekosistem ini berada pada zona peralihan antara air dan darat, sehingga belum dikategorikan kedalam ekosistem yang ada.
Ekosistem hutan pantai di way kambas atau lebih dikenal pantai saja, ini dicirikan dengan kondisi lingkungan yang terletak di dekat laut namun tidak mendapat genangan baik air laut dan tawar. Dengan jenis tanah biasanya didominasi oleh pasir. Ekosistem hutan pantai ini khususnya terletak di sepanjang pantai timur TN Way Kambas. Salah satu penciri hutan pantai antara lain ketapang (Terminalia cattapa), cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Ekosistem hutan mangrove/payau di way kambas terletak disekitar pantai dimana terdapat pergantian/salinasi antara air asin dan tawar secara teratur. Umumnya terletak disepanjang pantai timur kawasan TN Way Kambas. Ekosistem ini mempunyai peran atau manfaat nyata dalam mendukung sumber kehidupan manusia. Sebagai tempat hidup dan berkembang biak bagi jenis-jenis ikan dan udang laut.
Flora dan Fauna
Di Taman Nasional Way Kambas ini terdapat hewan yang hampir punah di antaranya Badak sumatera, Gajah Sumatra, Harimau sumatera, Mentok Rimba, Buaya sepit, Kijang, Tapir, Rusa dan Beruang Madu. Jenis-jenis primata seperti lutung, Owa, siamang, dan lain-lain. Di bagian pesisir sering ditemukan berbagai jenis burung antara lain Bangau Tongtong, Sempidan Biru, Kuau raja, Burung Pependang Timur, dan beberapa burung lainnya. Untuk tanaman banyak diketemukan Api-api, Pidada, Nipah, pandan.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atau Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNLKS) tidak hanya berfungsi sebagai wilayah perlindungan alam, tetapi sekaligus destinasi wisata. Taman Nasional satu ini didominasi oleh wilayah perairan, sehingga selalu menjadi tujuan wisata bahari.
Lokasi taman nasional pertama di Indonesia ini sangat dekat dengan ibu kota Jakarta. Para pengunjung hanya memerlukan waktu selama beberapa jam untuk mencapai kawasan yang berada di Kabupaten Pulau Seribu melalui pelabuhan di Jakarta. Transportasi yang umum digunakan adalah speed boat.
Secara geografis Taman Nasional Kepulauan Seribu terletak pada koordinat 5°24’ – 5°45’ Lintang Selatan dan 106°25’ – 106°40’ Bujur Timur. Secara administratif kawasan tersebut berlokasi di antara Kelurahan Panggang dan Kelurahan Pulau Kelapa dari Kecamatan Kepulauan Seribu, Kabupaten Pulau Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu mempunyai luas sebesar 107.489 hektar dengan wilayah daratan hanya seluas 526 hektar, selebihnya berupa perairan laut. Taman nasional ini terdiri atas 106 gugusan pulau dengan kondisi hutan masih alami, 78 diantara pulau tersebut adalah wilayah dilindungi.
Luas setiap pulau tersebut hanya berkisar antara 0,5 hingga 37 hektar. Wilayah Kepulauan Seribu ini membentang sejauh 80 kilometer ke arah utara dan selatan. Perpaduannya menghasilkan gugusan pulau karang yang dikenal memiliki kesamaaan baik secara morfologis ataupun oseanografis.
Layaknya taman nasional pada umumnya di Indonesia, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu juga menerapkan sistem zonasi untuk pengelolaannya. Khusus untuk TNLKS ada delapan zona yang dibentuk dan mencakup kawasan daratan hingga perairan, empat diantaranya adalah zona maritim yang tidak dijumpai di taman nasional lain.
Zona Inti
Zona inti taman nasional biasanya terletak di tengah-tengah dan berfungsi sebagai lokasi yang dilindungi dari jangkauan manusia. Pasalnya zona ini juga menjadi tempat pelestarian plasma nutfah serta perlindungan terhadap proses ekologi.
Di TNLKS sendiri, zona inti kembali dibagi menjadi tiga titik, yaitu:
Zona Inti I diperuntukkan sebagai lokasi perlindungan Penyu Sisik. Titik ini berada di Pulau Gosong Rengat yang merupakan habitat sekaligus tempat Penyu Sisik bertelur.
Zona Inti II diperuntukkan sebagai areal untuk melindungi ekosistem mangrove. Zona ini membentang di Pulau Penjaliran Timur, Pulau Penjaliran Barat, serta Pulau Peteloran Barat dan Pulau Peteloran Timur yang juga menjadi habitat dan lokasi peteluran Penyu Sisik.
Zona Inti III berfungsi sebagai kawasan perlindungan untuk ekosistem terumbu karang. Zona ini berada pada Pulau Kayu Angin Bira, Pulau Belanda, dan perairan sekitarnya. Kawasan pada zona ini hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan penelitian.
Zona Lindung
Zona Lindung merupakan wilayah yang berfungsi sebagai perlindungan untuk Zona Inti, khususnya Zona Inti I dan Zona Inti II. Pasalnya kedua zona tersebut memiliki ekosistem yang menyatu dengan Zona Lindung. Pada ekosistem itulah Penyu Sisik mencari makanan, dibesarkan, dan dikembangbiakkan.
Zona Pemanfaatan
Jika Zona Inti dan Zona Lindung sama sekali tidak diizinkan untuk dijamah manusia, maka Zona Pemanfaatan terbuka untuk manusia meski tetap harus mematuhi aturan yang berlaku. Zona ini memang dikembangkan untuk kegiatan wisata alam laut dengan dilandaskan pada aturan konservasi alam.
Zona Pemanfaatan Tradisional
Zona Pemanfaatan Tradisional juga tidak jauh berbeda dengan Zona Pemanfaatan. Hanya saja zona ini difungsikan untuk menopang kebutuhan masyarakat, tetapi masih dalam batasan tertentu. Zona ini dibuka untuk mendukung kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.
Contoh kegiatan yang diizinkan untuk dilakukan pada Zona Pemanfaatan Tradisional adalah penangkapan ikan dengan syarat menggunakan metode penangkapan tradisional. Masyarakat juga diizinkan melakukan budidaya dan membuat sarana umum di zona satu ini.
Zona Sublitoral
Zona sublitoral adalah salah satu zona maritim yang terletak di pantai dan membentang mulai dari batas surut air paling rendah sampai dengan dasar laut terdalam. Zona ini biasanya dapat mencapai kedalaman sekitar 20 hingga 40 meter, bahkan beberapa titik mencapai 70 meter. Kawasan ini didominasi biota jenis karang seperti Acropra sp.
Zona Litoral
Zona Litoral juga merupakan zona maritim yang berbatasan dengan Zona Sublitoral. Zona ini dihitung mulai dari batas air pasang paling tinggi sampai dengan batas air surut paling rendah. Kawasan ini biasanya sangatlah luas dang menjadi habitat bagi terumbu karang dan aneka ikan hias seperti Echinophyllia sp., Pachyseris sp., Mycedium sp., dan Oxypora sp.
Zona Supralitoral
Zona Supralitoral juga masih berada di area pantai, tetapi tidak pernah dicapai atau terendam oleh air laut, khususnya ketika air mengalami pasang hingga titik tertinggi. Walau begitu zona ini masih memperoleh percikan-percikan air laut ketika terjadi gelombang besar ataupun ombak.
Zona ini terdiri atas area pantai berpasir dan bebatuan karang yang biasanya menjadi tempat bertelur bagi Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Kawasan ini juga didominasi oleh tumbuhan mangrove dan berbagai spesies burung air.
Zona Daratan
Zona daratan adalah kawasan yang berbatasan dengan Zona Supralitoral. Dengan begitu zona ini sudah cukup kering dan jauh dari jangkauan air laut. Sebagai kawasan daratan zona ini umumnya ditumbuhi oleh kelapa (Cocos nucifera).
Hampir semua pulau yang ada di taman nasional ini adalah tanah karang yang tersusun atas puing-puing serta hasil erosi dari terumbu karang yang dibawa oleh ombak hingga mencapai dataran terumbu rataan. Kondisi ini bisa dilihat dari area daratan yang rendah dan keberadaan pasir sepanjang pantai.
Secara garis besar sejarah wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dimulai pada pada tanggal 12 Juli 1982 ketika Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 527/Kpts/Um/7/1982 tentang sebagian wilayah di Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam Laut dengan luas 108.000 hektar dikeluarkan.
Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 14 Oktober 1982 Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Pernyataan No. 736/Kpts/Mentan/X/1982 tentang wilayah Kepulauan Seribu diumumkan sebagai calon Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Pencalonan ini baru membuahkan hasil lebih dari sepuluh tahun kemudian.
Pada tanggal 21 Maret 1995 barulah wilayah Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atau TNLKS yang mempunyai luas 108.000 hektar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 162/Kpts-II/95.
Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sangatlah beragam. Secara umum keragaman tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu Keanekaragaman Ekosistem dan Keanekaragaman Flora Fauna.
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu terdiri atas gugusan terumbu karang dan gugusan pulau dengan kedalaman laut pada setiap titik berbeda-beda. Hal tersebut menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem laut maritim tropis. Dengan ekosistem tersebut, TNLKS kembali dibagi atas tiga sub-ekosistem.
Sub-ekosistem daratan pantai yang ditandai dengan luasnya agak kecil serta perpaduan flora, fauna, dan berbagai unsur non-hayati yang dimilikinya membentuk area daratan yang khas.
Sub-ekosistem pantai hutan bakau merupakan wilayah tumbuh bagi berbagai jenis tumbuhan khas mangrove.
Sub-ekosistem terumbu karang adalah wilayah paling luas di taman nasional ini yang menjadi tempat hidup bagi berbagai spesies flora dan fauna laut dengan segala keindahan khas yang dimilikinya.
Keanekaragaman Flora dan Fauna
Sebagai kawasan yang tersusun atas wilayah daratan dan perairan, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu mempunyai keanekaragaman yang sangat kaya. Pasalnya flora dan fauna yang dapat dijumpai di wilayah ini merupakan perpaduan antara kehidupan di darat dan juga di laut.
Flora yang tumbuh di TNLKS dapat dibagi menjadi menjadi dua jenis yaitu flora darat dan flora laut. Flora darat terdiri atas tumbuhan yang tumbuh wilayah daratan hingga hutan mangrove, sedangkan flora laut adalah kelompok tumbuhan yang hidup di dalam wilayah perairan seperti ganggang dan rumput laut.
Flora darat di TNLKS antara lain kelapa (Cocos nucifera), mengkudu (Morinda citrifolia), sukun (Artocarpus atilis), bay cedar (Suriana), matahari laut (Spinifex), katang-katang (Ipomoea), pandan laut (Pandanus tectorius), kecundang (Carbena adollam), cemara laut (Casuarina equisetifolia), nyamplung (Calophyllum inophyllum), bogem (Sonneratia), dan marga Tourneforti.
Flora darat di area hutan mangrove ditumbuhi oleh jenis bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), berus (Bruguiera eriopetala), tengar (Ceriops), dan juga stigi (Phempis).
Flora laut berupa kelompok ganggang laut yang dijumpai di kawasan ini yaitu ganggang hijau (Chlorophyta), ganggang merah (Rhodophyta), dan ganggang cokelat (Phaeophyta).
Flora laut dari kelompok rumput laut antara lain berasal dari marga Thalassia, Gelidium, Focus, Chondrus, Caulerpa, Sargassum, dan spesies Halimeda padina.
Sama halnya dengan flora, fauna TNLKS juga merupakan perpaduan antara fauna darat dan fauna laut. Kelompok fauna tersebut terdiri atas fauna terumbu karang, aves, dan juga pisces. Total keseluruhan fauna yang hidup di kawasan ini adalah sekitar 257 spesies.
Fauna kelas aves yang dapat dijumpai di TNLKS berjumlah 18 spesies dan satu diantaranya adalah satwa endemik yang dijadikan sebagai maskot kota Jakarta yaitu Elang Bondol (Haliastur indus).
Kelas pisces atau ikan yang hidup di perairan taman nasional ini tercatat berjumlah kurang lebih 113 spesies dan ada 78 spesies yang hidup dengan cara bersosialisasi dengan area padang lamun.
Kelompok moluska di kawasan ini juga cukup banyak dan beberapa diantaranya adalah jenis yang dilindungi seperti kepala kambing, kima raksasa (Tridacna gigas), akar bahar, kerang susu bundar, dan batu laga.
Pada wilayah terumbu karang bagian dalam yang dilindungi, tepatnya pada bercak terumbu yang terdapat di permukaan laut terdapat habitat fauna dari spesises Porites lutea, Porites andrewsi, dan Acropora sp. yang mendominasi habitatnya.
Pada wilayah dataran karang bagian luar terdapat atol-atol kecil dan ketiga spesies yang telah disebutkan tadi sekaligus menjadi fauna khas di area tersebut. Fauna tersebut juga mendominasi dataran karang yang berada di bagian selatan dari Pulau Pari.
Fauna yang hidup di wilayah dataran karang terbuka mempunyai jenis yang lebih sedikit dibanding pada dataran yang dilindungi. Karang yang terdapat di puncak terumbu umumnya berbentuk tabung, kecil, serta kurang masif seperti Porites sp., Coeloseris sp., dan Acropora sp.
Kehidupan Masyarakat
Ada dua pulau yang menjadi tempat tinggal utama bagi masyarakat sekitar taman nasional yaitu Pulau Panggang dan Pulau Kelapa. Sedangkan pulau yang lain hanya akan dihuni oleh nelayan pada musim tertentu dan kebanyakan pulau sudah dikelola untuk tujuan pariwisata. Pasalnya sektor pariwisata merupakan sumber pendapatan terbesar di kawasan ini.
Dari total 106 pulau di TNLKS, 80 diantaranya sudah dibangun untuk menunjang sektor pariwisata seperti Pulau Bidadari, Pulau Putri, dan Pulau Melintang. Rata-rata pulau tersebut juga sudah dilengkapi fasilitas pendukung wisata seperti bungalow, cottage, lanai, restoran, tempat berkemah, toko, gedung pertemuan, dan bar.
Total ada 23 pulau yang sudah dimiliki secara pribadi di taman nasional ini seperti Pulau Air dan Pulau Kotok Besar sebagai lokasi konservasi burung. Kebanyakan pulau pribadi tersebut dikelola untuk tujuan pariwisata. Selebihnya benar-benar hanya diperuntukkan bagi kegiatan pemilik pulau dan tertutup untuk umum.
Destinasi Wisata
Letak Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu memang sangat strategis untuk dijadikan sebagai obyek wisata, karena penduduk ibukota pasti akan mampir jika mulai bosan dengan penatnya Jakarta. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini diketahui terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Wisatawan yang datang ke kawasan tersebut tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Kegiatan yang biasa dilakukan wisatawan adalah wisata air dan pengamatan burung.
Aktivitas snorkeling dan diving paling baik dilakukan di Pulau Jukung, Pulau Genteng, Pulau Panjang, Pulau Kelor, Pulau Macan, Pulau Semut, dan Pulau Petondan, karena kondisi terumbu karangnya masih sangat alami dan terawat.
Aktivitas memancing paling cocok dilakukan di Pulau Belanda, Pulau Petondan, dan Pulau Jukung.
Wisawatan juga dapat mengunjungi tempat bersejarah di taman nasional ini berupa sisa-sisa benteng zaman penjajahan Belanda yang terletak di Pulau Kayangan, Pulau Kelor, dan Pulau Onrust. Sementara itu di Pulau Damar Kecil juga ada sisa peninggalan istana kepresidenan.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah sebuah taman nasional yang terletak di Sulawesi Selatan, tepatnya berada di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Sekitar 50 km di arah utara Kota Makassar, yang dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Kota Makassar.
Taman nasional ini memiliki luas kurang lebih 43.750 hektar, yang membentang dari Kabupaten Maros hingga Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (yang selanjutnya disingkat “Pangkep”). Terdapat dua ikon utama yang ada di taman nasional ini, yaitu kupu-kupu dan keindahan alamnya yang berupa pegunungan karst, bebatuan, dan berbagai gua prasejarah. Selain sebagai tempat wisata alam, taman nasional ini juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat wisata prasejarah.
Eksplorasi di kawasan Bantimurung untuk pertama kalinya dilakukan oleh Alfred Russel Wallace pada Juli hingga Oktober 1857. Selanjutnya, ia mempublikasikan hasil penjelajahannya di The Malay Archipelago, yang kemudian mendorong banyak peneliti untuk mengunjungi dan melakukan penelitian wilayah Maros karena keunikan fauna dan keindahan alamnya.
Pada ekspedisi pertama ini juga, Alfred Russel Wallace menjuluki kawasan Bantimurung sebagai “The Kingdom of Butterfly” karena di dalam kawasan tersebut banyak ditemukan kupu-kupu yang cantik dan mempesona.
Pada tahun 1970 hingga 1980, terpilihlah lima kawasan konservasi di kawasan Maros hingga Pangkep, yaitu dua taman alam yang meliputi Bantimurung dan Gua Pattunuang, serta tiga suaka margasatwa yang meliputi Bantimurung, Karaenta, dan Bulusaraung. Pada tahun 1993, The XI International Union of Speleology Congress merekomendasikan wilayah Maros-Pangkep sebagai situs warisan dunia. Lima tahun setelah itu, Seminar Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (PSL-UNHAS) juga merekomendasikan kawasan Maros-Pangkep sebagai kawasan yang dilindungi.
Pada Mei 2001, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Asia Regional Office dan UNESCO World Heritage Center mengadakan sebuah konferensi yang bertajuk Asia-Pacific Forum on Karst Ecosystems and World Heritage di Sarawak, Malaysia, untuk meyakinkan pemerintah Republik Indonesia untuk melestarikan kawasan Maros-Pangkep sebagai wilayah yang dilindungi.
Akhirnya, pada 18 Oktober 2004, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kehutanan mendeklarasikan alokasi 43.750 hektar lahan Bantimurung-Bulusaraung untuk konservasi satwa liar, taman alam, hutan konservasi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung melalui SK.398/Menhut-II/2004. Dari 43.750 hektar total luas lahan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, di dalamnya meliputi cagar alam seluas kurang lebih 10.282 hektar, taman wisata alam seluas 1.624 hektar, hutan lindung seluas 21.343 hektar, hutan produksi terbatas seluas 145 hektar, dan hutan produksi tetap seluas 10.355 hektar.
Keunikan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung
Terletak di kawasan peralihan zona Asia dan Australia, taman nasional ini memiliki banyak koleksi satwa unik, seperti kera tegalan Sulawesi (Macaca maura), burung enggang kenop merah (Aceros cassidix dan Penelopes exarhatus), kuskus (Strigocuscus celebensis), musang palem Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), kelelawar, dan babi berperut buncit (Sus Scrofa vittatus). Pada Maret 2008, petugas Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung mendokumentasikan keberadaan Tarsius fuscus dan mereka juga menemukan sarangnya di dalam kawasan tersebut. Selain itu, di kawasan karst Taman Nasional ini, terdapat satu spesies unik yang hanya dapat ditemukan di Gua Karst Maros, yaitu kepiting laba-laba (Cancrocaeca xenomorpha).
Kupu-kupu menjadi salah satu ikon utama di taman nasional ini. Di taman nasional ini, sedikitnya terdapat 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 7/1999. Beberapa spesies kupu-kupu tersebut bahkan ada yang hanya dapat ditemukan di Sulawesi Selatan, seperti Troides Helena Linne, Troides Hypolitus Cramer, Troides Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius, dan Cethosia Myrana.
Menurut Alfred Russel Wallace dalam penelitiannya yang dipublikasikan di The Malay Archipelago, di lokasi tersebut terdapat sedikitnya 250 spesies kupu-kupu. Hingga akhir tahun 2016, sebanyak kurang lebih 240 jenis kupu-kupu ekor layang-layang (Papilionidae) telah teridentifikasi terdapat di taman nasional ini.
Selain kupu-kupu, sekitar separuh dari luas kawasan taman nasional ini terdapat kawasan karst seluas kurang lebih 22.850 hektar. Kawasan karst yang terdapat di taman nasional ini juga merupakan keunikan tersendiri, yang mampu membedakan antara Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung dengan taman-taman nasional lainnya yang terdapat di Indonesia. Hingga tahun 2016, terdapat 257 gua di taman nasional ini, dengan rincian 216 gua merupakan gua alam dan 41 gua merupakan gua prasejarah.
Pengelolaan Taman Nasional
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 pada tanggal 18 Oktober 2004. Taman nasional ini kaya akan potensi sumber daya alam, baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Selain itu, taman ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan taman-taman nasional lainnya, yaitu terdapat bukit-bukit karst yang di dalamnya ditemukan gua-gua prasejarah selain keberadaan hutan yang mendominasi kawasan tersebut.
Dalam mengelola kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) beserta Dinas Pariwisata Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk ikut serta dalam melestarikan taman nasional ini. Karena adanya taman nasional ini, masyarakat setempat pun turut merasakan dampaknya, utamanya dapat menambah sumber penghasilan karena terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Di samping itu, masyarakat setempat juga diberikan edukasi dan pengarahan oleh pemerintah agar dapat menjaga kelestarian satwa-satwa dan hutan yang ada di kawasan taman nasional ini.
Taman Nasional Wakatobi adalah salah satu taman nasional yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan.
Taman Nasional Wakatobi terletak di Pulau Sulawesi dan terkenal akan surga bawah lautnya yang sangat memukau.
Kondisi alam di taman nasional ini juga sangat unik. Berkat dominasi wilayah perairan yang jauh lebih banyak daripada wilayah daratan, maka jenis flora dan fauna juga didominasi oleh spesies air.
Nama Wakatobi diambil dari empat pulau utama di kawasan taman nasional ini, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kalidupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Wakatobi adalah akronim dari suku kata pertama keempat pulau tersebut, yaitu Wa-Ka-To-Bi.
Kawasan ini secara resmi berstatus sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002 tanggal 9 Agustus 2002 sebagai Taman Nasional Wakatobi yang meliputi Kepulauan Wakatobi dan wilayah perairan seluas 1.390.000 hektar.
Secara administratif kawasan Wakatobi National Park melewati 67 desa dan kelurahan, serta 8 kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Perbandingan luas antara daratan dan lautan adalah 3% dan 97%.
Ada empat pulau utama di kawasan ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Tetapi selain empat pulau tersebut juga ada beberapa pulau-pulau kecil lain, seperti Pulau Anno, Pulau Hoga, dan Pulau Rundumana.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, Taman Nasional Wakatobi mempunyai iklim tipe C. Setiap tahun, kawasan ini mengalami dua musim selayaknya daerah tropis pada umumnya, yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan suhu setiap harinya berada pada kisaran 19 sampai 34 derajat Celcius.
Cadangan air di kawasan ini terutama pada gugusan pulau-pulaunya berasal dari air tanah. Air tersebut biasanya bersumber dari gua yang sangat dipengaruhi oleh pasang dan surutnya air laut. Oleh sebab itu, rasa air Wakatobi tidak begitu tawar dan semakin mendekati laut, rasa airnya semakin payau.
Semua pulau yang ada di kawasan taman nasional ini tidak mempunyai sungai. Sehingga sumber air utama hanya berasal dari air hujan. Masyarakat yang hidup di pulau ini pun harus menampung air hujan di dalam bak penampungan untuk dijadikan sebagai cadangan kebutuhan rumah tangga ketika musim kemarau datang.
Kepulauan Wakatobi terbentuk mulai zaman Tersier hingga akhir dari zaman Miosen. Pulau-pulau yang ada di kawasan ini terbentuk melalui suatu proses geologi yang disebut proses sesar. Beberapa sesar yang menjadi pemicu terbentuknya pulau adalah sesar naik, sesar turun, dan sesar geser, serta lipatan yang tidak bisa dipisahkan dari gaya tektonik.
Jumlah pulau secara keseluruhan yang ada di wilayah kepulaun ini adalah 39 pulau besar dan kecil, 3 gosong, serta 5 atol. Adapun jenis terumbu karang yang dapat dijumpai di kawasan ini yakni gosong karang (patch reef), karang tepi (fringing reef), dan atol.
Atol di Taman Nasional Wakatobi mempunyai keunikan tersendiri yang membedakannya dengan atol lain. Hal tersebut terkait dengan proses pembentukan atol-nya. Atol taman nasional ini merupakan hasil dari penenggelaman lempeng dasar yang dimulai dari munculnya pulau baru dan diikuti kemunculan karang di sekeliling pulau.
Beberapa atol yang terdapat di taman nasional ini adalah Atol Kaledupa, Atol Tomia, dan Atol Kapota. Atol-atol ini merupakan terumbu karang yang mengelilingi pulau dan mengalami pertumbuhan ke atas.
Sebagai taman nasional yang didominasi oleh wilayah perairan, maka tumbuhan dan hewan di Taman Nasional Wakatobi lebih didominasi oleh kelompok yang hidup di perairan dibanding di daratan.
Flora
Tercatat jumlah karang yang ada di Taman Nasional Wakatobi ada lebih dari 112 spesies. Diantaranya adalah Acropora formosa, Merulina ampliata, Pavona cactus, Fungia molucensis, Stylophora pistillata, Euphyllia glabrescens, Platygyra versifora, Psammocora profundasafla, dan Tubastraea frondes.
Fauna
Kelompok ikan yang dapat dijumpai berjumlah sekitar 93 spesies, seperti pogo-pogo (Balistoides viridescens), baronang (Siganus guttatus), takhasang (Naso unicornis), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), Heniochus acuminatus, Aphiprion melanopus, dan Caesio caerularea.
Wilayah Wakatobi juga menjadi tempat kunjungan dari salah satu jenis ikan, yaitu ikan paus sperma (Physeter macrocephalus). Ikan ini biasanya datang secara bergerombol pada bulan November. Ada juga ikan pari manta (Manta ray) dengan ukuran raksasa dan merupakan spesies unik yang hanya hidup di perairan tropis.
Selain itu, ada pula burung laut seperti cerek Melayu (Charadrius peronii), angsa batu cokelat (Sula leucogaster plotus), serta raja udang erasia (Alcedo atthis). Adapula beberapa spesies penyu seperti penyu tempayan (Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).
Destinasi Wisata
Ada banyak sekali kegiatan dan obyek wisata yang dapat dikunjungi di Taman Nasional Wakatobi. Meskipun tersohor dengan pesona alam bawah lautnya, tetapi objek wisata di kawasan ini tidak hanya sekadar di bawah laut saja.
Wisata Bawah Laut Tomia dan Onemohute
Salah satu kegiatan yang paling diminati oleh para pengunjung di Taman Nasional Wakatobi adalah melakukan wisata bawah laut. Apalagi kawasan ini memang terkenal dengan pesona alam bawah lautnya, bahkan disebut sebagai taman bawah laut paling indah. Menariknya, hampir semua area perairan di Wakatobi aman untuk ditempati menyelam.
Meskipun begitu, wilayah yang paling terkenal indah dan cocok untuk wisata bawah laut adalah Onemohute yang terletak di sekitar Pulau Wangi-Wangi serta Roma yang berada di Pulau Tomia. Di sini, selain menyelam pengunjung juga dapat melakukan aktivitas lain seperti snorkeling.
Pengunjung yang tidak memiliki kemampuan menyelam juga tetap bisa menikmati pesona alam di kawasan ini melalui glass bottom boat, yaitu kapal yang pada area lantainya transparan guna pengamatan ekosistem bawah air.
Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah snorkeling atau bermain bersama satwa. Biasanya biota laut yang paling menarik dan menjadi magnet bagi wisatawan adalah lumba-lumba yang sering muncul di atas permukaan laut.
Lokasi terbaik untuk berinteraksi dengan lumba-lumba, yaitu di area Pelabuhan Mola Raya. Pelabuhan ini dapat dicapai dengan waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar 20 menit. Transportasi yang digunakan adalah perahu yang bisa disewa di Kota Wanci, Wangi-Wangi.
Pantai Pulau Hoga
Jika enggan melakukan wisata bawah laut, pengunjung juga bisa mencoba untuk mengunjungi pantai yang berada di Pulau Hoga. Pantai ini mempunyai pasir berwarna putih yang sangat lembut dengan perpaduan air laut yang sangat bening. Belum lagi kondisi pulau yang relatif tenang dan sepi yang menambah indahnya suasana Wakatobi.
Di Pulau Hoga telah ada penginapan yang dibangun, sehingga jika pengunjung ingin berlama-lama di sini telah tersedia fasilitas yang cukup memadai. Sumber daya listrik di pulau ini hanya ada mulai pukul 6 sore sampai 12 malam, jadi tidak heran apabila pulau ini memang benar-benar cocok untuk menenangkan diri.
Sambil menikmati pantai di Pulau Hoga, pengunjung juga dapat menunggu senja tiba untuk menyaksikan sunset. Ketika malam hari, pulau ini dapat menjelma menjadi lokasi stargazing yang mempesona.
Pantai Pulau Anano di Pulau Seribu Penyu
Satu lagi pulau yang menjadi destinasi wisata terbaik di Taman Nasional Wakatobi, yaitu Pulau Seribu Penyu. Pulau ini merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Wakatobi dan tidak berpenghuni alias kosong.
Dinamakan Pulau Seribu Penyu karena pulau ini menjadi tempat koloni dari dua spesies penyu langka untuk bertelur. Kedua penyu tersebut adalah penyu sisik dan penyu hijau. Jika beruntung pengunjung dapat menyaksikan proses pelepasan bayi penyu ke lautan.
Selain itu, adalah pula Pantai Pulau Anano yang mempunyai pasir berwarna putih yang sangat indah. Momen paling ditunggu di pantai ini adalah saat ketika matahari mulai terbenam atau sunset yang sangat indah.
Pantai Cemara di Pulau Wangi-Wangi
Pantai selanjutnya yang menjadi tujuan wisata di Taman Nasional Wakatobi adalah Pantai Cemara. Kelebihannya pantai ini adalah berada tidak jauh dari pusat kota di Pulau Wangi-Wangi. Meskipun begitu, pantai ini memang ditujukan untuk kegiatan wisata karena keberadaan fasilitas seperti warung makan yang cukup lengkap.
Artinya pengunjung yang ingin menikmati suasana sepi dan sunyi tidak direkomendasikan ke sini. Tidak hanya itu, keunggulan pantai ini adalah tersedianya jasa untuk kursus menyelam, sehingga pengunjung yang ingin belajar menyelam dapat mencobanya di sini. Beberapa permainan air juga hadir di pantai ini seperti banana boat.
Puncak Kahyangan, Pulau Tomia
Istilah kahyangan memang selalu memberi sisi menarik tersendiri, termasuk untuk nama objek wisata. Salah satunya terdapat di Taman Nasional Wakatobi, yaitu Puncak Kahyangan. Puncak ini berada di Pulau Tomia yang merupakan area bukit berumput yang menyajikan pemandangan yang begitu mempesona.
Pemandangan yang dapat dinikmati dari Puncak Kahyangan adalah pesona Wakatobi dari sisi yang berbeda, sehingga lokasi ini juga cocok untuk dijadikan tempat hunting foto. Ketika menjelang senja, mata akan dimanjakan dengan indahnya sunset. Bahkan bila pengunjung sempat bermalam di kawasan ini, maka akan bertemu dengan sunrise di pagi hari.
Kolam Enteng Jodoh di Goa Kontamale
Taman Nasional Wakatobi juga mempunyai beberapa gua yang tersebar di Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, dan Pulau Tomi. Menurut catatan, ada 12 gua di pulau-pulau tersebut. Salah satu gua yang paling populer dan dapat dikunjungi di Wanci, Wangi-Wangi yaitu Gua Kontamale.
Gua Kontamale juga biasa disebut sebagai Gua Telaga. Hal ini dikarenakan air yang berada di area bibir gua memberi kesan yang menyerupai telaga. Tepat di bagian langit-langit gua ada banyak sekali stalagnit yang membentuk gugusan indah.
Air yang berada di gua ini sangat jernih, sehingga penduduk sekitar juga menjadikan Gua Kontamale sebagai sumber air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti mandi dan mencuci. Tetapi yang paling menarik adalah kepercayaan yang berkembang di masyarakat lokal bahwa mandi di kolam ini dapat membuat enteng jodoh.
Danau Sombano
Lokasi wisata di Taman Nasional Wakatobi selanjutnya adalah Danau Sombano. Danau ini tepat berlokasi di area hutan mangrove yang berada di Pulau Kaledupa. Di sekitar danau ada banyak sekali jenis flora cantik yang tumbuh dan menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa diantaranya adalah spesies anggrek dan aneka jenis pandan.
Meskipun air Danau Sombano tampak menarik untuk melepas gerah dengan berenang, tetapi pengunjung dilarang keras untuk melakukan aktivitas tersebut di danau ini. Alasannya karena warga sekitar mempercayai sebuah legenda tentang buaya hitam yang menghuni Danau Sombano.
Buaya hitam tersebut bisa saja muncul tiba-tiba ketika ada orang yang berenang di danau. Jadi meskipun tidak bisa berenang, pemandangan di tepi Danau Sombano tetap memikat.
Hutan Lindung Tindoi
Pengunjung dengan background pecinta alam pasti menyukai kegiatan satu ini, yakni menyusuri Hutan Lindung Tindoi. Hutan ini sendiri adalah areal yang sangat dikeramatkan oleh warga dari empat desa sekitar, yaitu Desa Posalu, Desa Tindoi, Desa Tindoi Timur, dan Desa Waginopo.
Berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dengan jarak kurang lebih 10 km dari pusat Kota Wanci, Hutan Lindung Tindoi memang menjadi destinasi yang menarik dikunjungi. Di sini ada banyak sekali jenis flora khas hutan hujan tropis seperti pepohonan besar yang sangat eksotis.
Mengunjungi Pandai Besi di Pulau Binongko
Pulau Binongko dikenal mempunyai penduduk yang ahli dalam menciptakan berbagai jenis alat besi serta baja atau disebut sebagai pandai besi. Bahkan hasil tangan penduduk di pulau ini dipercaya memiliki kualitas yang dapat diandalkan dan merupakan satu dari beberapa produk besi dan baja yang terbaik di Indonesia.
Oleh sebab itu, jika pengunjung ingin mengenal lebih jauh lagi mengenai kehidupan tradisional para pandai besi, maka cobalah untuk mengunjungi Pulau Binongko. Dengan begitu pengunjung dapat mengamati langsung bagaimana proses pengolahan besi dan baja. Jika berkesempatan, pengunjung juga bisa melaukan snorkeling atau menyelam di perairannya.
Wisata Kuliner
Tidak hanya wisata alam saja yang bisa dilakukan di Taman Nasional Wakatobi. Pengunjung juga bisa mencoba melakukan wisata kuliner berupa makanan tradisional Wakatobi. Misalnya parende, kusami, dan laluta. Makanan yang bisa diperoleh di warung sekitar ini dijamin akan membuat lidah ketagihan sambil menikmati pemandangan alam.
Kemeriahan Festival Tahunan Wakatobi
Selain wisata alam dan wisata kuliner, pengunjung juga dapat melakukan wisata budaya. Salah satunya dengan turut serta dalam Festival Tahunan Wakatobi. Kegiatan ini sendiri dilakukan oleh pemerintah Wakatobi demi mempromosikan kawasan ini. Salah satu festival yang populer yaitu Wakatobi Wave Festival.
Festival tersebut diadakan setiap bulan November di Pulau Wangi-Wangi. Pada saat perhelatan, pengunjung dapat menyaksikan berbagai budaya Wakatobi mulai dari tari-tarian tradisional, permainan rakyat, musik dan karnaval pakaian, sampai dengan aneka kuliner tradisional. Biasanya festival ini berlangsung selama satu pekan.
Sail Indonesia
Festival yang juga tidak kalah meriahnya di Wakatobi adalah Sail Indonesia. Masih sama, festival ini juga bertujuan untuk mempromosikan kawasan Wakatobi. Kegiatan yang berlangsung adalah melakukan pelayaran untuk mengunjungi beberapa pulau di Wakatobi.
Menariknya, para pengunjung yang kebetulan hadir ketika perhelatan ini berlangsung juga akan diajak turut serta untuk melakukan pelayaran. Di samping itu pengunjung juga akan menyaksikan berbagai upacara adat yang dilakukan oleh penduduk Wakatobi.
Festival Barata Kahedupa
Festival Barata Kahedupa merupakan salah satu perayaan yang dilakukan setiap bulan Desember. Inti dari festival ini adalah Karia yang berarti ‘kemeriahan’ dalam bahasa setempat. Ada ritual utama yang biasa dilakukan dalam festival ini, yaitu Ritual Porimbi-Rimbi.
Ritual tersebut merupakan tradisi pra perjodohan antara anak laki-laki dan perempuan. Dimana orang tua anak laki-laki mengunjungi orang tua anak perempuan untuk melakukan prosesi persembahan berupa makanan, tanaman, pangan, serta uang. Persembahan tersebut merupakan hukum adat sebagai langkah awal dalam proses pinangan.
Taman Nasional Lorentz adalah kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara yang merupakan Situs Warisan Dunia. Luas Taman Nasional Lorentz adalah 2,3 juta hektar, yang terletak di 10 Kabupaten di Papua. Kawasan ini memiliki puncak tertinggi Cartenz dan salju abadinya. Pada sisi utara Taman Nasional Lorentz, terbentang jajaran pegunungan tinggi di Pulau Papua yang membuatnya memiliki kekayaan alam unik dan langka di dunia.
UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), Badan Khusus PBB yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan juga kebudayaan menjadikannya sebagai situs warisan dunia, yang harus dilindungi.
UNESCO bahkan menyebut taman nasional ini, sebagai satu-satunya kawasan lindung di dunia yang menggabungkan transek utuh dan berkelanjutan dari lapisan salju ke lingkungan laut tropis. Termasuk juga, lahan basah dataran rendah yang luas.
“Ini adalah satu dari tiga wilayah tropis di dunia yang memiliki gletser dan mosaik sistem daratan, dari puncak gunung yang tertutup salju hingga lahan basah dataran rendah yang luas dan daerah pesisir,” demikian tertulis dalam laman UNESCO.
Kawasan Taman Nasional Lorentz terletak di bagian tengah-selatan Papua. Luasnya berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 4645 /Menhut-VII/KUH/2014 sekitar 2.348.683,31 hektar. Letaknya di 10 kabupaten yaitu Mimika, Paniai, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Yahukimo, Nduga, dan Kabupaten Asmat.
Dari laman Kementerian KLHK tersebut dijelaskan, kawasan ini membentang pada gletser khatulistiwa di jajaran pegunungan tinggi di Asia Tenggara melalui spektrum lengkap ekosistem, mulai ekosistem pesisir pantai sampai Pegunungan Alpin.
Kawasan ini merupakan keterwakilan gradasi ekosistem dengan ketinggian antara 0 – 4.884 mdpl dengan puncak tertinggi Cartenz dan salju abadinya. Pada sisi utara Taman Nasional Lorentz, terbentang jajaran pegunungan tinggi di Pulau Papua yang menjadikan kawasan ini memiliki kekayaan alam unik dan langka di dunia.
Taman Nasional Lorentz memiliki ekosistem luar biasa. Di dalamnya terdapat 34 jenis vegetasi dan 29 sistem lahan yang telah diidentifikasi, serta 123 spesies mamalia yang telah tercatat. Selain itu, hutannya menjadi habitat berbagai spesies burung langka (45 spesies) dan endemis (9 spesies).
Taman nasional ini juga memiliki keragaman budaya, dihuni tujuh suku yang menerapkan pola hidup tradisional turun-temurun. Suku Amungme [Damal], Dani Barat, Dani Lembah Baliem, Moni dan Nduga, menempati wilayah dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah terdapat suku Asmat, Kamoro dan Sempan.
Sejarah Taman Nasional Lorentz bermula setelah ekspedisi yang dipimpin Hendrikus Albertus Lorentz, seorang penjelajah Belanda yang mengunjungi daerah tersebut pada tahun 1909, sekaligus menjadi cikal bakal nama kawasan ini. Berikutnya, tahun 1919, wilayah ini ditetapkan sebagai Monumen Alam Lorentz pada masa Pemerintahan Belanda dan merupakan pengakuan resmi yang pertama kali tercatat dalam sejarah Taman Nasional Lorentz. Tahun 1970, wilayah ini direkomendasikan sebagai jaringan kawasan Irian yang dilindungi oleh pakar-pakar dari Dirjen Kehutanan RI, IUGN, FAO dan WWF.
Kemudian tahun 1997, Taman Nasional Lorentz ditetapkan secara resmi dengan luas 2.505.600 hektar, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 154/Kpts-II/1997 tanggal 19 Maret 1997 yang memasukan tambahan bagian timur dan laut di sebelah Selatan.
Lalu di tahun 1999, taman nasional ini didaftarkan sebagai Warisan Alam Dunia dengan mengeluarkan areal sekitar 150.000 hektar dari kawasan yang memiliki izin eksplorasi minyak dan gas yang dimiliki oleh Conoco. Lorentz ditetapkan secara resmi sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site) berdasarkan Surat WHG/74/409.1/NI/CS tanggal 12 Desember 1999 dengan luas 2.350.000 hektar. (ATN)
Sumber: KLHK
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post