ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bukan rahasia lagi, Uni Eropa (UE) sangat membutuhkan pasokan Nikel dari Indonesia.
Karena itu, ketika Pemerintah Indonesia menghentikan ekspor Nikel per 1 Januari 2020, Uni Eropa yang paling keras menentang kebijakan ini.
Bahkan, Uni Eropa langsung menempuh jalur hukum dengan menggugat Pemerintah Indonesia di World Trade Organization (WTO).
Gugatan Uni Eropa merujuk pada kondisi produsen baja di Eropa yang sangat terpukul dan menderita. Pasalnya, 55 persen dari bahan baku yang dibutuhkan pabrik baja anti-karat di Eropa bersumber dari bijih Nikel Indonesia.
Asosiasi Produsen Baja Eropa atau EUROFER bahkan secara terbuka mendukung langkah Komisi Uni Eropa (UE) menggugat pelarangan ekspor nikel itu ke WTO.
“Kami menyambut baik bahwa Uni Eropa telah memilih untuk mengambil tindakan melawan Indonesia di WTO, atas dasar pelanggaran terhadap aturan perdagangan,” terang Direktur Jenderal EUROFER, Axel Eggert beberapa waktu lalu.
Gugatan dilayangkan karena Uni Eropa menilai kebijakan tersebut melanggar sejumlah ketentuan dalam The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT), sebuah perjanjian pendahulu dari WTO. Salah satunya terkait pembatasan ekspor untuk produk mineral, khususnya nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel di Uni Eropa.
Axel Eggert memandang, Indonesia saat ini menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Sehingga, Indonesia kemudian bertahap melarang ekspor bijih nikel mereka hingga Januari 2020.
Namun Eggert menilai, Indonesia sengaja menimbun cadangan nikel mereka untuk meningkatkan daya saing industri baja anti karat dalam negeri.
“Mereka (Indonesia) memperolehnya dengan cara yang tidak adil,” kata Eggert.
Ia menegaskan bahwa saat ini ada 200 ribu pekerjaan langsung dan tidak langsung bagi masyarakat Eropa yang berkaitan dengan industri baja anti karat.
“Mereka tidak harus menanggung resiko karena adanya aktivitas yang tidak adil dari dari negara lain,” tandas Eggert.
Disamping itu, ada kekhawatir nikel Indonesia didominasi oleh salah satu negara, sehingga menciptakan pasar yang tidak adil.
Hal itu cukup beralasan, sebab industri nikel di Indonesia lebih dominan dikuasai oleh China.
Data menunjukkan, peta industri nikel di Indonesia bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun terakhir. Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebesar 25 persen, PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) 19 persen dan perusahaan lainnya 3 persen.
Namun pada 2021, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO berkurang 22 persen, ANTM hanya 7 persen, dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) mengontrol 11 persen. Artinya, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing.
IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding asal China (66,25 persen) dan perusahaan lokal PT Bintang Delapan Mineral (33,75 persen). IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi Mining Investment di Bahodopi, Sulawesi Tengah dengan kapasitas 300.000 ton per tahun. Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun.
“Jadi, hampir 70 persen tambang nikel di Indonesia dikontrol asing,” kata Peneliti Pada Alpha Research Database Ferdy Hasiman dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (17/9/2021).
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menekankan nikel merupakan komoditas strategis Indonesia yang penting bagi perekonomian nasional.
Hal ini menyusul gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia perihal kebijakan larangan ekspor bijih nikel di WTO.
Jerry mengatakan nikel juga merupakan sumber daya yang tak terbarukan. Karena itu Indonesia berhak membatasi perdagangan demi kepentingan masyarakat dan keberlanjutan (sustainability).
“Indonesia berhak mengatur perdagangan sumber daya-sumber daya strategisnya. Apalagi itu ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kepentingan ekonomi yang berkelanjutan juga,” ujar Jerry dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (23/11/2021).
Nikel adalah salah satu bahan untuk membuat baterai berbagai peralatan, termasuk mobil listrik yang tengah menjadi tren dunia. Indonesia sendiri merupakan penghasil nikel utama di dunia.
Tidak heran, jika nikel Indonesia banyak dilirik oleh pasar negara-negara lain.
Pemerintah sendiri terus berupaya mengoptimalkan kontribusi nikel bagi perekonomian dan kepentingan nasional. Pembatasan ekspor nikel adalah bagian dari hal tersebut.
“Jadi tujuannya agar kita bisa mengelola dengan lebih baik melalui hilirisasi industri bahan tambang mentah sesuai arahan Presiden Jokowi. Ini sebenarnya juga mencerminkan kepentingan dunia internasional yaitu bahwa agar pemanfaatan sumber daya yang terbatas dan tidak terbarukan bisa memberikan dampak positif dalam jangka panjang,” paparnya.
Dengan upaya melawan gugatan terhadap pembatasan ekspor nikel, Jerry berharap industri berbasis nikel juga bisa tumbuh dengan memanfaatkan momentum ini. Dengan demikian perdagangan dan industri nikel memberikan nilai tambah yang tertinggi sesuai amanat Presiden Jokowi.
Dalam kaitan dengan gugatan oleh Uni Eropa, Jerry menyampaikan terima kasih atas kerjasama dan kerja keras baik di internal Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun lembaga lain.
Ia menyebut Kemendag mendapatkan dukungan penuh dari Kemenko Marves, Kemenko Perekonomian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian ESDM, BKPM, Kejaksaan Agung dan lain-lain, juga perwakilan Indonesia di WTO dan Uni Eropa. Kerja sama yang baik ini baginya merupakan indikator dan preseden yang baik bagi kerja sama di sektor yang lain.
Sebenarnya, kolaborasi antarkementerian yang semakin baik juga bisa dilihat dari program lain seperti dalam penanganan pandemi Covid-19. Ini baginya juga menunjukkan soliditas kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi.
“Saya merasakan makin kuatnya koordinasi, sinergi dan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dari tahun ke tahun. Ini semakin menguatkan teamwork yang solid dalam melawan gugatan dari Uni Eropa,” pungkas Jerry. (ATN)
Discussion about this post