ASIATODAY.ID, JAKARTA – World Bank meminta Pemerintah Indonesia untuk mengawasi secara ketat utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
World Bank memandang, tingkat utang BUMN mulai meningkat, terutama dikarenakan paket penanganan Covid-19 yang meliputi perluasan penjaminan.
“Risiko fiskal dan kewajiban kontinjensi masih dapat dikelola, tetapi utang BUMN baru-baru ini mulai meningkat dan perlu pemantauan yang lebih ketat,” kata Bank Dunia dalam laporan bertajuk Public Expenditure Review: Spending for Better Results yang dikutip, Minggu (28/6/2020).
Menurut World Bank, kewajiban kontinjensi ini dapat diartikan sebagai kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti, dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa di masa mendatang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali suatu entitas.
World Bank menilai, peningkatan utang BUMN ini terjadi dikarenakan pemerintah semakin bergantung pada BUMN untuk menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan.
Selain itu, pemerintah dinilai sering menugaskan BUMN dengan amanat nasional lainnya, seperti dalam melakukan subsidi bahan bakar.
Catatan World Bank, pada tahun 2019 total utang BUMN non-finansial mencapai 6,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang ini meningkat sebesar 1,5 persen dari tahun 2017.
Selain itu, ada beberapa hal yang secara eksplisit diartikan sebagai kewajiban kontinjensi. Misalnya adalah bentuk jaminan pinjaman kepada BUMN sebesar 1.4 persen dari PDB pada akhir tahun 2019, jauh di bawah pagu jaminan sebesar 6,0 persen dari PDB.
Dilain pihak, kewajiban ini juga meliputi jaminan untuk proyek kemitraan pemerintah dengan swasta (KPS) sebesar 1 persen dari PDB pada tahun 2018, yang ditanggulangi oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) atau PT PII, untuk risiko penjaminan.
“Penting juga untuk memantau kewajiban kontinjensi lainnya, seperti yang berasal dari perusahaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda), seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang banyak di antaranya mengalami kerugian,” tandas World Bank.
Tantangan Indonesia
Krisis kesehatan akibat penyebaran Covid-19 menciptakan ancaman baru bagi bisnis BUMN di Indonesia, khususnya yang telah terbelit utang selama bertahun-tahun.
Mengutip Bloomberg, Kamis (9/4/2020), banyak BUMN yang terbelit utang selama bertahun-tahun, menghadapi tuduhan kesalahan pengelolaan dan korupsi, dan mengalami masalah pembayaran sebelum Covid-19 menyerang.
Penurunan pendapatan, risiko krisis kredit yang dipicu oleh menguatnya dolar Amerika Serikat membuat risiko-risiko itu semakin buruk.
“Covid-19 memperburuk tantangan yang harus dihadapi beberapa sektor perusahaan milik negara,” ujar Analis S&P Global Ratings Xavier Jean.
Jean menuliskan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaan milik negara seperti penurunan tajam volume lalu lintas, menurunnya prospek pertumbuhan konsumsi listrik saat kapasitas bertambah, serta tantangan perdagangan yang lebih sulit.
Sementara, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut sektor BUMN Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
Perseroan pelat merah dan ratusan anak usahanya mempekerjakan jutaan orang Indonesia dan memiliki peran penting dalam membangun pelabuhan, kereta api, serta ribuan kilometer jalan baru sebagai bagian dari rencana infrastruktur senilai USD415 miliar Presiden Joko Widodo.
Sejalan dengan tugas itu, total utang yang dimiliki oleh BUMN mencapai Rp1.600 triliun atau setara USD98 miliar pada kuartal III/2020 menurut data Kementerian BUMN. Jumlah itu mengalami kenaikan 15 persen dari tahun sebelumnya.
Bloomberg menuliskan beberapa BUMN telah mengalami masalah utang bahkan sebelum Covid-19 melanda.
Sebagai contoh, pembuat baja terbesar di Indonesia, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. yang baru saja merestrukturisasi utang senilai USD2 miliar.
Selanjutnya, dua perusahaan asuransi negara, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) mengalami default. Permasalahan Jiwasraya terungkap sepenuhnya pada Maret 2020 dengan catatan kerugian negara Rp16 triliun.
Bloomberg juga menyoroti dua BUMN yang menjadi motor pembangunan infrastruktur Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Utang yang dimiliki oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. telah mengalami lonjakan hingga periode September 2019.
Selain itu, BUMN juga memiliki sejumlah utang luar negeri. Hal itu disebut meningkatkan biaya pendanaan saat dolar AS menguat.
Risiko dari menguatnya dolar AS tercermin di pasar keuangan. Harga surat utang yang dimiliki oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ambles di tengah kondisi pembatasan perjalanan.
Managing Director Penida Capital Advisors Ltd Edward Gustely mengatakan pemerintah harus memilah BUMN dengan kinerja buruk atau bersifat tidak strategis dan tidak menguntungkan sementara yang lain harus menjadi kandidat untuk privatisasi.
“Menteri BUMN Erick Thohir sedang mencoba untuk memperbaiki industri dan tentu saja memiliki keterampilan kepemimpinan dan kapasitas yang diperlukan untuk melakukannya,” kata Gustely.
Menurut Gustely, Erick akan membutuhkan bantuan dari luar untuk merestrukturisasi utang BUMN. Selain itu, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang profesional yang mampu menghasilkan kinerja baik dan dapat dilindungi dari campur tangan politik. (ATN)
Discussion about this post