ASIATODAY.ID, JAKARTA – World Bank mengingatkan negara-negara di dunia mulai bersiap menghadapi situasi terburuk. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi global akan menurun tajam pada 2022. Situasi itu akan diperparrah oleh dampak stagflasi terhadap perekonomian dunia.
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global terbaru, World Bank mengatakan pertumbuhan ekonomi global sudah melemah dan terpapar inflasi yang berlarut-larut akibat perang Rusia dan Ukraina.
Dalam laporan tersebut, World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan turun tajam dari 5,7 persen pada 2021 menjadi 2,9 persen pada 2022.
“Angka tersebut menunjukan angka lebih rendah dari proyeksi 4,1 persen, walaupun sudah diantisipasi pada Januari 2022,” demikian laporan World Bank dikutip, Kamis (9/8/2022).
Menurut World Bank, turunnya proyeksi pertumbuhan ekonimi global tersebut diperparah oleh perang Rusia dan Ukraina karena mengganggu jalannya aktivitas, investasi, dan perdagangan dalam waktu dekat.
Kemudian, permintaan yang terpendam akan memudar hingga ditariknya kebijakan fiskal dan moneter. Akibatnya, pandemi Covid-19 dan perang Rusia dan Ukraina menyebabkan tingkat pendapatan per kapita di negara-negara berkembang tahun ini akan hampir dibawah 5 persen dibandingkan pra-pandemi.
Presiden World Bank David Malpass mengatakan bahwa perang di Ukraina menganggu rantai pasokan dan membuat stagflasi akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang sulit dihindari.
“Pasar bisa melihat ke depan, jadi sangat mendesak untuk mendorong produksi dan menghindari pembatasan perdagangan. Perubahan dalam kebijakan fiskal, moneter, iklim, dan utang diperlukan untuk melawan misalokasi modal dan ketidaksetaraan,” kata Malpass seperti dikutip, Kamis (9/6/2022).
Stagflasi
Dalam laporan Prospek Ekonomi Global yang dirilis pada Juni 2022, World Bank telah melakukan penilaian yang sistematis tentang bagaimana kondisi ekonomi global saat ini jika dibandingkan dengan stagflasi pada periode 1970-an.
Pada saat itu, dengan dilakukannya penekanan khusus pada stagflasi maka hal itu dapat memengaruhi pasar dari negara berkembang hingga dapat menumbuhkan perekonomian ekonomi.
Pemulihan dari stagflasi tahun 1970-an membutuhkan kenaikan suku bunga di negara-negara maju, karena negara maju tersebut memiliki peran penting dalam memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan menumbuhkan ekonomi.
Direktur Grup Prospek World Bank Ayhan Kose mengatakan bahwa perekonomian yang berkembang tentunya harus menyeimbangkan kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan fiskal untuk mengurangi dampak krisis yang tumpang tindih terhadap warganya yang tingkat ekonominya paling rendah.
“Mengkomunikasikan keputusan kebijakan moneter dengan jelas, memanfaatkan kerangka kebijakan moneter yang kredibe, dan melindungi independensi bank sentral dapat secara efektif dapat menopang ekspektasi inflasi dan mengurangi jumlah pengetatan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai efek yang diinginkan pada inflasi dan aktivitas,” ungkap Kose.
Dengan demikian, kondisi saat ini sangat menyerupai stagflasi pada 1970-an dalam tiga aspek utama, yakni; (1) Gangguan dalam sisi penawaran yang terus-menerus dapat memicu inflasi. (2) Didahului oleh periode kebijakan moneter yang sangat akomodatif dan berkepanjangan di negara-negara maju sebagai peran penting. (3) Prospek melemahnya pertumbuhan dan kerentanan yang akan dihadapi pasar negara berkembang.
Akibatnya, negara berkembang mau tidak mau akan melakukan pengetatan pada kebijakan moneter yang diperlukan untuk mengendalikan inflasi. Namun, ada perbedaan kondisi saat ini dengan 1970-an.
Pertama, kondisi dolar saat ini sangat kuat dibanding dengan 1970-am.
Kedua, persentase kenaikan harga komoditas lebih kecil dan neraca lembaga keuangan besar yang kuat.
Ketiga, bank sentral di negara maju dan negara berkembang sekarang memiliki mandat yang jelas untuk stabilitas harga selama tiga dekade terakhir dan mereka telah menetapkan rekam jejak yang kredibel dalam mencapai target inflasi mereka tidak seperti tahun 1970-an.
Inflasi global diperkirakan akan terjadi pada tahun depan dan kemungkinan akan di atas target inflasi yang sudah ditentukan banyak negara. Laporan World Bank tersebut juga mencatat bahwa jika inflasi tetap tinggi, maka pengulangan resolusi stagflasi sebelumnya akan menyebabkan penurunan ekonomi global yang tajam dan dibarengi dengan krisis keuangan di beberapa pasar negara berkembang. (ATN)
Discussion about this post