ASIATODAY.ID, JAKARTA – Rencana Menko Perekonomian Indonesia merevisi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) memunculkan pertanyaan. Pasalnya, upaya itu bisa menjadi celah terjadinya pembalakan liar atau illegal logging secara besar-besaran.
Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dwi Sudharto, dalam penerapannya selama 10 tahun, SVLK mampu membuang stigma negatif Indonesia di mata dunia yang dianggap sebagai negara maling karena menjual kayu ilegal dan tidak menjaga kelestarian hutan.
Dengan SVLK kata dia, Indonesia juga menjadi contoh bagi para negara eksportir kayu dan produk kayu meskipun tidak mudah untuk menata pelaku usaha yang nakal.
Dia menuturkan SVLK hanya soal tata kelola dan tidak rumit untuk mengurusnya, sekalipun bagi usaha kecil dan menengah.
Oleh karena itu, Dwi berpendapat mereka yang meminta SVLK hanya diterapkan bagi produk yang akan dikirim ke Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan Australia, adalah pelaku usaha yang tidak mau ikut aturan main yang sudah ditetapkan.
“Harusnya ditanya ada apa dengan dia, bukan SVLK-nya yang dikerdilkan. Kita sedih loh, ironis. Kita mau tertib, dunia mengacu ke kita kok, malah kita mengkerdilkan diri,” katanya, saat dihubungi Jumat (13/9/2019).
Sementara itu, anggota Board Kaoem Telapak Mardi Minangsari menjelaskan, Indonesia merupakan negara pelopor di dunia melalui keberhasilannya mereformasi sektor kehutanan dan perkayuan.
“Dari yang tadinya dikenal sebagai negara dengan tingkat pembalakan liar tertinggi, nyaris 80 persen dari total kayu yang diproduksi berasal dari sumber-sumber ilegal, menjadi negara pertama di dunia yang mendapatkan lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa,” paparnya.
Sejak penerapan SVLK dan pengakuan dari Uni Eropa, nilai ekspor untuk produk kayu dan turunannya meningkat dari senilai US$10 miliar pada 2017 menjadi US$12 miliar pada 2018.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Darmian Nasution mengungkapkan bahwa pemerintah akan menyederhanakan proses sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Alasannya kata Darmian, bagi sebagian pengusaha, proses pengurusan SVLK terbilang cukup banyak, dengan harga yang relatif mahal.
“Diaturan Permendag kena semua produk kayu. Padahal yang wajib itu Uni Eropa, Kanada, Australia, dan Inggris. Di luar AS tak ada SVLK. Masuk akal sekali memang. Harus ditinjau Permendag,” jelasnya.
“Ada beberapa pengusaha yang usulkan agar SVLK disederhanakan. Udah gitu mahal biayanya. Mengurus SVLK kira-kira Rp 20 – Rp 30 juta. Untuk usaha besar sih tak masalah, kalau kecil dan menengah gimana,” kata Darmin dengan tanya.
Menurut Darmin, potensi ekspor kayu sebagai salah satu penopang perekonomian cukup besar. Namun, sampai saat ini potensi produk ini dikembangkan belum terlihat, sehingga perlu adanya langkah konkret menggenjot ekspor kayu.
“Kita belum bisa memanfaatkan pasar AS yang besar. Kita nggak kena perang dagang, dan ekspor kita ke Cina melambat karena dia kena bea masuk 25% ke AS,” tegasnya.
Upaya menyederhanakan SVLK tersebut berkaitan dengan keinginan Presiden Jokowi dalam menyiapkan berbagai macam kemudahan dan insentif fiskal bagi para pengusaha untuk meningkatkan ekspor produk kayu dan mebel furnitur.
Keputusan ini merupakan hasil dari tindak lanjut rapat terbatas dengan topik peningkatan ekspor permebelan, rotan dan kayu di Istana Merdeka, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/9/2019) lalu.
Darmin Nasution pun memaparkan, akan memberikan berbagai macam kemudahan dan insentif fiskal kepada para eksportir kayu maupun mebel agar ekspor komoditas ini bisa meningkat.
Selain menyederhanakan SVLK kata Darmian, pemerintah akan memberlakukan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk penjualan kayu sebab hal ini kerap dikeluhkan oleh pelaku usaha.
“Pengolah kayu harus bayar PPN 10%, sehingga pasti dikurangi harganya. Hal ini sedang dibahas dengan Menkeu untuk di-nolkan,” kata Darmin. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post