ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) melaporkan bahwa 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis antara tahun 2016 dan 2018.
Saat ini lebih dari dua juta anak Indonesia juga menderita wasting yang parah atau berat badan yang rendah untuk tinggi badan.
Kondisi itu diartikan sebagai suatu jenis kurang gizi akut yang ditandai dengan hilangnya lemak tubuh dan jaringan otot secara masif yang menyebabkan mereka terlihat tua dan sangat kurus. Selain itu, mereka memiliki kekebalan yang lemah, rentan terhadap keterlambatan perkembangan jangka panjang dan menghadapi peningkatan resiko kematian, terutama bila wasting parah.
“Dalam jangka panjang, kekurangan asupan gizi akan meningkatkan risiko penyakit jantung, hipertensi, diabetes, obesitas dan penyakit degeneratif lainnya,” jelas Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Prof Dr Muhammad Rizal Martua Damanik, dalam keterangannya, Jumat (23/10/2020).
Laporan berjudul “Kebijakan Mendukung Kebutuhan Investasi Pangan dan Pertanian Indonesia tahun 2020-2045” juga mengungkapkan bahwa masalah akses dan kerawanan pangan masih belum terselesaikan.
Menurut Rizal, dalam laporan Global Hunger Organization (GHO) 2019 untuk Global Hunger Index (GHI) menunjukkan bahwa masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih relatif lapar. Pada 2018, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 119 negara yang disurvei.
Tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand (44), Malaysia (57), Vietnam (64), Myanmar (68), dan Filipina (69). Namun pada 2019, GHI Indonesia berhasil memperoleh skor yang lebih baik, meski hanya sedikit.
Dari 117 negara yang disurvei, Indonesia berhasil menempati urutan ke-70, masih kalah dari Thailand (46), Malaysia (57), Vietnam (62) dan Myanmar (69).
Dalam studi terpisah yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati peringkat ke-65 dari 113 negara di Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI).
“Peringkat tersebut berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang menempati urutan pertama dalam indeks, Malaysia di peringkat ke-40, Thailand (54) dan Vietnam (62),” urainya.
Rizal menambahkan, lapar dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang saling terkait. Orang mengalami lapar karena tidak tersedianya pangan untuk dimakan.
Lapar yang berkelanjutan akan menyebabkan orang mengalami kurang gizi, energi dan berbagai komponen gizi mikro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Pada kelompok rentan seperti ibu hamil dan bayi, kurang gizi secara kronis akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan janin dan bayi yang kemudian berpotensi mengalami stunting.
“Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk hidup sehat, aktif dan produktif berkelanjutan,” papar Rizal.
Hal ini menunjukkan keterkaitan yang jelas antara ketahanan pangan dan lapar atau kurang gizi. Setidaknya ada tiga keterkaitan utama, yaitu ketersediaan pangan, tidak ada rumah tangga yang kelaparan, akses dan rantai distribusi terhadap pangan (bergizi) dapat terjangkau dan pemanfaatan pangan (dan kestabilan pangan).
Berbagai upaya masih harus terus dilakukan untuk mengakhiri kelaparan pada tahun 2030. Kemudian sepenuhnya memberantas kelaparan pada tahun 2045, saat Indonesia memasuki periode emasnya.
“Investasi dalam penelitian dan pengembangan sektor pertanian, perluasan irigasi dan efisiensi penggunaan air serta peningkatan infrastruktur pedesaan merupakan upaya-upaya yang perlu mendapat perhatian serius,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post