ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia mengajak negara-negara di dunia untuk membangun kolaborasi dalam upaya menangani dampak perubahan iklim.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit (KTT CAS) 2021 yang berlangsung pada Selasa (26/1/2021), Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyerukan sejumlah langkah besar sebagai upaya penanganan dampak perubahan iklim.
“Dampak iklim sangat nyata di hadapan kita. Apalagi untuk negara-negara kepulauan seperti Indonesia,” kata Jokowi.
Menurut Jokowi, perubahan iklim yang terjadi membuat para petani dan nelayan di Indonesia harus beradaptasi. Meningkatnya permukaan laut juga mengharuskan penduduk pesisir dan pulau kecil berjuang untuk dapat bertahan.
Pandemi Covid-19 yang melanda setidaknya 215 negara di dunia, termasuk Indonesia, membuat tantangan tersebut menjadi makin kompleks dan berat.
“Untuk itu, kita harus mengambil langkah luar biasa,” seru Jokowi.
Langkah luar biasa yang pertama harus dilakukan adalah memastikan semua negara memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim (nationally determined contribution/NDC).
“Indonesia telah memutakhirkan NDC untuk meningkatkan ketahanan dan kapasitas adaptasi,” terang Jokowi.
Kedua, seluruh potensi masyarakat harus dapat digerakkan untuk secara bersama-sama menumbuhkan kesadaran dalam menangani dan melakukan aksi terkait dampak perubahan iklim yang niscaya terjadi di masa mendatang.
“Indonesia melibatkan masyarakat untuk mengendalikan perubahan iklim melalui program Kampung Iklim yang mencakup 20.000 desa pada tahun 2024,” ungkap Jokowi.
Ketiga, Kepala Negara juga menyerukan penguatan kemitraan global. Indonesia memprioritaskan kerja sama peningkatan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim bagi negara-negara di kawasan Pasifik.
“Tentunya negara maju harus memenuhi komitmennya,” jelas Jokowi.
Langkah keempat, Indonesia mengajak seluruh negara untuk terus melanjutkan pembangunan hijau guna menjadikan dunia yang lebih baik.
Presiden sangat berharap agar KTT CAS 2021 ini dapat berdampak pada peningkatan aksi iklim dunia melalui solidaritas, kolaborasi, dan kepemimpinan kolektif global, serta mengawal detail pelaksanaannya di masing-masing negara.
KTT CAS merupakan konferensi tingkat tinggi global untuk mempercepat dan meningkatkan upaya global dalam adaptasi masyarakat dan ekonomi terhadap dampak perubahan iklim pada masa mendatang.
Tahun ini, KTT CAS digelar secara daring di mana Belanda bertindak menjadi tuan rumah dan didukung oleh 22 negara termasuk Indonesia.
Hadir dalam KTT kali ini di antaranya Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, Co-Chair Global Commission on Adaptation Ban Ki-moon, pemimpin sejumlah institusi perekonomian dan pembangunan internasional, dan para peserta pertemuan yang terdiri atas 22 kepala negara atau pemerintahan.
Dalam acara ini terdapat pesan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte dan keynotes dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) ke-8, Ban Ki-moon, serta Utusan Perubahan Iklim Presiden Amerika Serikat, John Kerry.
Adaptasi Perubahan Iklim
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, menyampaikan catatan sebagai co-chair di hari yang sama dan melanjutkan penekanan pesan dari Presiden Jokowi, bahwa sebagai negara agraris, peningkatan suhu global akibat perubahan iklim tentu akan mempengaruhi produktivitas pertanian yang akan berdampak pada kondisi ekonomi dan kehidupan sosial.
Oleh karena itu, Indonesia memasukkan adaptasi perubahan iklim dalam Nationally Determined Contributions (NDC)-nya selain mitigasi perubahan iklim untuk mencapai tiga bidang ketahanan yaitu ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan kebutuhan dasar hidup, serta ketahanan ekosistem dan bentang alam.
Hal tersebut disampaikan Siti Nurbaya saat menjadi salah satu pembicara dalam Inaugural Annual Ministerial Dialogue on Adaptation Action. Dialog tahunan tentang aksi adaptasi yang diselenggarakan oleh The Global Center on Adaptation (GCA) menjadi salah satu sesi penting pada konferensi tingkat tinggi CAS 2021. Menteri bidang lingkungan hidup dari berbagai negara juga menjadi pembicara dalam sesi ini.
Kerja Sama Berkelanjutan
Dialog ini bertujuan untuk membentuk kerja sama yang berkelanjutan oleh para pemimpin global untuk mengakselarasikan aksi adaptasi baik dalam hal kecepatan maupun dalam skala yang lebih besar. Dialog ini juga menjadi platform bagi negara-negara untuk menampilkan keberhasilan implementasi dan menyampaikan inisiatif baru, kerja sama, serta tindakan-tindakan lain yang dapat berkontribusi atau berpotensi untuk akselarasi aksi adaptasi perubahan iklim.
Menteri Siti menyampaikan, dari sisi regulasi, Indonesia telah memasukkan adaptasi dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Roadmap NDC Adaptasi sedang disusun untuk memberikan arahan terhadap pencapaian NDC adaptasi pada tahun 2030. Panduan dan perangkat telah disiapkan dalam rangka implementasi adaptasi perubahan iklim di tingkat tapak.
Kemudian, Siti Nurbaya juga menyampaikan bahwa, pada saat situasi pandemi Covid-19, implementasi adaptasi perubahan iklim dalam bentuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Food Estate merupakan inisiatif pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ketahanan nasional terhadap pandemi Covid-19.
“Inisiatif tersebut bertujuan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus mengurangi risiko dampak perubahan iklim melalui upaya Padat Karya Penanaman Mangrove oleh masyarakat dan peningkatan ketahanan pangan melalui Food Estate,” terang Siti.
Dalam hal pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim, Siti Nurbaya menginformasikan bahwa Indonesia telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang berfungsi untuk mengelola dana yang berasal dari dalam negeri, internasional, hingga sektor swasta untuk pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim.
“Sebagai negara berkembang dengan wilayah yang hampir seluas benua Eropa dan jumlah penduduk nomor 4 di dunia, tentunya akan membutuhkan sumber daya yang besar untuk meningkatkan kapasitas guna meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, oleh karena itu diharapkan dengan dibentuknya BPDLH dapat mendukung pencapaian NDC baik dari segi mitigasi maupun adaptasi,” ungkap Menteri Siti.
RI Bantu Negera Berkembang Lainnya
Di bagian akhir, Siti Nurbaya menegaskan bahwa sebagai anggota G20, Indonesia juga berkontribusi membantu negara berkembang lainnya melalui South-South Cooperation. Beberapa kerja sama internasional tersebut antara lain adalah berbagi pengalaman dalam pengelolaan lahan gambut dengan Kongo dan Peru yang dikelola oleh International Tropical Peatland Center (ITPC) di Bogor yang didukung oleh UNEP, FAO dan CIFOR.
Kerja sama dengan berbagai pihak juga telah dilakukan dengan mewujudkan Regional Capacity Center for Clean Seas (RC3S) di Bali untuk peningkatan kapasitas negara-negara berkembang dalam menangani sampah laut. RC3S didukung oleh COBSEA, GPA–UNEP, UN-ESCAP, PEMSEA dan Jepang.
“Mengakhiri pernyataan saya, saya ingin menekankan pentingnya adaptasi, sebagaimana tercermin dari ambisi besar kami untuk mencapai agenda pengendalian perubahan iklim,” kata Siti Nurbaya. (ATN)
Discussion about this post