ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia membutuhkan investasi di sektor energi hijau sebesar USD20-25 miliar per tahun mulai tahun ini hingga tahun 2030 dan akan meningkat menjadi USD60 miliar per tahun antara tahun 2030 hingga 2040. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah harus berusaha menarik investasi dari sektor swasta.
Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050 menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050.
Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat emisi sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58 persen pada 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin transformasi sistem energi dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulisnya Kamis (27/5/2021).
Menurut Fabby, langkah pertama dan krusial upaya dekarbonisasi adalah mencapai puncak emisi selambatnya pada 2030. Dengan dukungan kebijakan kuat, pembangkit energi terbarukan dapat dikembangkan dengan masif disertai penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil.
Menggunakan model transisi sistem energi yang dikembangkan Lappeenranta University of Technology (LUT), laporan ini memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 650 energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.
Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, dan sekitar 80 persennya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti energi biomassa. Selain itu, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.
PLTS merupakan penyumbang terbesar dalam pembangkit listrik dengan pangsa 88 persen, diikuti oleh tenaga air sebesar 6 persen, panas bumi sebesar 5 persen, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1 persen. Teknologi penyimpanan energi, terutama baterai, berperan besar dalam mengatasi masalah intermitten. Sementara itu, bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik akan lebih berperan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dan industri.
Agar dapat mengandalkan energi terbarukan sebagai tulang punggung sistem energi di Indonesia, perlu integrasi jaringan listrik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Kebutuhan ini akan meningkat mulai tahun 2030 hingga seterusnya.
“Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi listrik sebesar 158 GW diperlukan untuk menghubungkan nusantara dari barat sampai timur,” jelasnya. (ATN)
Discussion about this post