ASIATODAY.ID, JAKARTA – Krisis ekonomi yang melanda negeri Sri Lanka menjadi fokus perhatian negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Meski kondisi Sri Lanka sangat jauh berbeda dengan Indonesia, namun Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan mitigasi.
Apalagi dampak dari inflasi global yang terjadi di tengah krisis geopolitik akibat perang Rusia vs Ukraina terus menjadi ancaman negara-negara di dunia.
“Kenaikan inflasi yang diikuti pengetatan moneter suku bunga dan likuiditas ini menciptakan konsekuensi resesi. Jangan sampai ada regulasi yang memperburuk risiko global, tapi kita tetap siapkan,” kata Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati di Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7/2022).
Menurut Sri Mulyani, ada 5 indikator yang menggambarkan sebuah negara dalam keadaan krisis ekonomi.
Pertama, sebuah negara bisa mengalami krisis ekonomi akibat neraca pembayaran yang tidak memadai. Indikator krisis juga berdampak kepada nilai tukar mata uang.
Kedua, ketahanan negara dari krisis juga dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pergerakan harga di negara tersebut.
Ketiga, sebuah negara dapat dikategorikan krisis apabila kontraksi ekonomi yang dalam dan belum pulih akibat pandemi plus inflasi akan menimbulkan situasi kompleks.
Keempat, kekuatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan moneter suatu negara harus kuat, dimana jumlah utang dan jasa harus seimbang.
Kelima, kemampuan rumah tangga dan korporasi.
“Nilai utang tidak dilihat besar dan kecilnya karena bisa memicu krisis. Dari survei yang ada, risiko resesi bisa di atas 70 persen,” jelasnya.
Dengan merujuk pada indikator-indikator tersebut, Sri Mulyani mengatakan Indonesia masih dalam risiko yang relatif stabil jika dibandingkan negara lain yang potensinya di atas 70 persen.
Untuk itu, Kementerian Keuangan telah menggunakan semua instrumen kebijakan fiskal, moneter, finansial, dan regulasi lain untuk memonitor terutama potensi eksposur korporasi.
“Saya perlu tegaskan, pasca krisis 2008 kondisi keuangan Indonesia lebih prudent. Angka kredit macet (non-performace loan) NPL terjaga, eksposur pinjaman luar negeri turun, dan korporasi juga memiliki hedging. Daya tahan kita lebih baik. Makanya probabilitas kecil, tapi kita tetap mewaspadai krisis sampai tahun depan,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post