ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia menargetkan 52 fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) hasil tambang bisa beroperasi pada 2023 hingga 2024.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (27/01/2020).
Menurut Arifin, sampai saat ini progres pembangunan smelter belum sesuai harapan.
Hingga 2019, jumlah smelter yang beroperasi sebanyak 17 unit yang terdiri dari dua smelter tembaga, 11 smelter nikel, dua smelter bauksit, satu smelter besi dan satu smelter mangan.
Arifin menjelaskan, lambatnya realisasi pembangunan smelter disebabkan oleh tiga kendala utama. Pertama pendanaan proyek, kedua aturan di daerah, ketiga pasokan energi listrik untuk smelter.
“Kami sudah memetakannya dan kita akan sampai pada penjelasan lebih lanjut,” jelas Arifin.
Kementerian ESDM mencatat kebutuhan listrik untuk 52 smelter sebesar 4.798 Mega Watt (MW). Kebutuhan tersebut tersebar pada fasilitas smelter di beberapa wilayah di antaranya satu smelter di Bengkulu butuh 5 MW, satu smelter di Kepulauan Riau butuh 45 MW, empat smelter di Banten butuh 68,5 MW, tiga smelter di Jawa Barat butuh 39 MW, lima smelter di Jawa Timur butuh 821,9 MW.
Kemudian tujuh smelter di Kalimantan Barat butuh 499 MW, satu smelter di Kalimantan Selatan butuh 10 MW, tiga smelter di Kalimantan Tengah butuh 75 MW. Lalu delapan smelter di Sulawesi Tengah butuh 959 MW, delapan smelter di Sulawesi Utara butuh 1.083 MW.
Selain itu, satu smelter di NTB butuh 300 MW, satu smelter di NTT butuh 20 MW, serta sembilan smelter di Maluku dan Maluku Utara butuh 941 MW.
Menurut Arifin, ada tiga strategi pemenuhan pasokan setrum untuk smelter di antaranya pemenuhan oleh PT PLN (Persero), pemenuhan oleh pengembang smelter, serta kerja sama pengembangan smelter dengan non-PLN. Tahun ini 21 smelter direncanakan beroperasi. Kemudian 2021 sebanyak 48 smelter, 2022 sebanyak 50 smelter hingga 2023 menjadi 52 smelter. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post