ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan penyempuraan regulasi baru terkait penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) mampu mendorong tumbuhnya pasar nikel domestik dan memastikan penjualan bijih nikel sesuai dengan harga pasar.
Ada beberapa substansi pokok yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 11/2020.
Pertama, aturan pertama terkait penetapan HPM dan HPB itu ditetapkan dengan mempertimbangkan pasar internasional, peningkatan nilai tambah, dan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.
Kedua, HPM bijih nikel ditetapkan sebagai harga batas bawah. Transaksi dapat dilakukan di bawah harga, dengan selisih tidak lebih dari 3 persen. Untuk mengantisipasi perbedaan kutipan harga atau penalty mineral pengotor, seperti kadar Fe dan Mg yang melebihi standar.
Ketiga, dalam melakukan pembelian bijih nikel, pihak lain wajib mengacu pada HPM.
Keempat, penambahan publikasi harga timah mengacu pada Jakarta future exchange dari sebelumnya hanya Bursa Komoditi dan Derivatif indonesia atau Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX).
Kelima, formulasi HPM dan HPB pada saatnya ditetapkan perbulan melalui Kepmen ESDM.
Keenam, dilapangan verifikasi kualitas dan kuantitasnya wajib dilakukan oleh surveyor pelaksana, yang akan menerbitkan laporan hasil verifikasi (LHV).
Ketujuh, yang menunjuk surveyor dalam Permen ini adalah Dirjen Minerba, yang akan menetapkan surveyor sebagai verifikator penjualan mineral dan batu bara di lapangan.
Kedelapan, penjualan dalam negeri wajib menunjuk surveyor sebagai wasit (umpire) apabila terjadi perbedaan hasil analisa antara kualitas mineral antara penjual dan pembeli.
Kesembilan, ketentuan formula HPM dan HPB itu juga diatur dalam permen ini dapat ditinjau setiap 6 bulan.
“Jadi kalau misalkan kita terbitkan bulan Februari tambah 6 bulan evaluasinya sekitar bulan oktober,” tutup Yunus.
Penerapan HPM Logam sesuai dengan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tersebut akan dilakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan masukan dari para stakeholder sehingga dapat dijadikan sebagai dasar apabila terjadi perubahan.
Permen tersebut diterbitkan pada tanggal 14 April 2020 dan berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan atau efektif berlaku sejak 14 Mei 2020.
Dikontrol Satgas
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menegaskan perdagangan nikel dari penambang ke smelter berada dalam kontrol satuan tugas (satgas).
Satgas ini akan bertugas memastikan implementasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 yang mengatur tata niaga bijih nikel dalam negeri.
Regulasi tersebut mengatur tentang penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) logam dan Harga Patokan Batubara (HPB). Permen ESDM No 11/2020 ini mengatur agar transaksi jual-beli bijih nikel dari penambang ke smelter mengacu pada HPM.
Menurut Yunus, satgas tersebut terdiri dari pihak Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Kami sudah minta anggota dari BKPM dan kita juga menunggu dari Kemenperin,” kata Yunus dalam konferensi pers virtual yang digelar Senin (20/7/2020).
Satgas ini bisa segera terbentuk dan mulai bulan depan sudah bisa menjalankan tugasnya dalam mengawasi transaksi bijih nikel di smelter agar mengacu pada HPM. Dari hasil pengawasan satgas ini, Yunus menegaskan bahwa pemerintah pun bakal memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar.
Menurut Yunus, koordinasi dengan Kemenperin sangat diperlukan lantaran ada smelter yang perizinannya terbit dalam bentuk Izin Usaha Industri (IUI). Menurut Yunus, satgas akan memberikan hasil pengawasan atau rekomendasi sedangkan peringatan hingga sanksi akan dikeluarkan oleh pemberi izin.
“Yang punya kewenangan memberikan peringatan dan sanksi sesungguhnya institusi yang memberikan izinnya. Seperti IUP OPK pengolahan dan pemurnian di kita, IUP penambang berarti ESDM. Kalau dari IUI maka Kemenperin,” papar Yunus.
Yunus memberikan gambaran atas penetapan HPM di bawah harga internasional.
“Misalnya kalau harga di internasional sebesar USD60 (per Wet Metrik Ton), di kita (Indonesia) paling USS30 (per WMT),” jelas Yunus.
Kendati demikian, penetapan HPM akan tetap berada di bawah Harga Pokok Produksi (mining cost) atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menambang biji nikel.
Pemerintah menilai keberadaan beleid HPM akan mencitptakan iklim investasi yang kondusif untuk smelter maupun penanmbang.
“HPM ini dalam rangka membuat tata niaga dalam subsektor minerba yang berkeadilan, kompetitif, dan transparan kepada para pelaku usaha penambang maupun smelter,” ungkap Yunus.
Formula HPM sendiri ditetapkan oleh Menteri ESDM yang terdiri dari nilai/kadar mineral logam; konstanta atau corektif faktor; Harga Mineral Acuan (HMA); biaya treatment cost dan refining charges (TC/RC) dan/atau payable metal. (AT Network)
Discussion about this post