ASIATODAY.ID, JAKARTA – Asia Tenggara (ASEAN) dilaporkan tengah menghadapi defisit anggaran untuk memenuhi kebutuhan energi dan infrastruktur yang terus meningkat.
Hal itu terungkap dari laporan terbaru Singapore Institute of International Affairs (SIIA) tentang kondisi Asia Tenggara saat ini.
Menurut lembaga itu, ASEAN harus cepat bertindak untuk meningkatkan koordinasi, keterampilan, dan transparansi dalam mempromosikan proyek-proyek berkelanjutan kepada investor.
Rekan Senior SIIA Chen Chen Lee mengungkapkan, laporan tersebut mengurai dasar kurangnya pendanaan berkelanjutan di Asia Tenggara untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang besar yang utamanya dipengaruhi oleh ketidaksamaan standar lingkungan dan sosial, serta risiko yang dipertimbangkan oleh lembaga keuangan, pengembang proyek, lembaga multilateral dan pemerintah.
“Asian Development Bank (ADB) juga telah menghitung kesenjangan infrastruktur di kawasan ASEAN yang mencapai sekitar USD2,8 triliun atau USD184 miliar per tahun selama periode 2016 hingga 2030,” demikian laporan tertulis SIIA, yang dimonitotor, Sabtu (18/4/2020).
Menurut Chen Lee, terbatasnya anggaran dibanyak negara telah meningkatkan urgensi bagi lembaga keuangan swasta untuk menyalurkan pembiayaan yang lebih hijau dan berkelanjutan ke proyek-proyek infrastruktur, terutama di sektor listrik dan transportasi yang memiliki kebutuhan investasi terbesar yang disesuaikan dengan iklim di negara berkembang Asia.
Chen Lee memandang, untuk mengatasi hal ini pemerintah ASEAN diharapkan dapat menyelenggarakan KTT Infrastruktur dengan menekankan Master Plan ASEAN Connectivity 2025 (MPAC 2025) sebagai cetak biru untuk proyek-proyek infrastruktur di ASEAN, menumbuhkan inisiatif oleh masing-masing negara anggota ASEAN dan melacak aliran keuangan berkelanjutan untuk proyek-proyek listrik dan transportasi.
“Sedangkan untuk lembaga keuangan yang berminat pada sektor listrik dan transportasi ASEAN, harus memberitahukan kebijakan keberlanjutan mereka yang mencakup risiko-risiko utama lingkungan dan sosial, serta pedoman umum tentang cara mereka menangani tantangan konteks-spesifik di negara tempat mereka beroperasi,” imbuhnya.
Lembaga keuangan juga harus mengikutsertakan risiko-risiko utama lingkungan dan sosial dalam upaya pemantauan yang mereka lakukan dan menyesuaikan frekuensi pemantauan dengan durasi pembangunan proyek.
Selain itu, lembaga keuangan dapat mengembangkan keahlian dalam pembiayaan khusus, terutama pembiayaan infrastruktur atau investasi hijau. Lembaga pemeringkat dapat mengembangkan sebuah mekanisme pemeringkatan dampak lingkungan dan sosial dari proyek listrik dan transportasi.
Dilain pihak, hasil penelitian ini berasal dari penelitian sekunder, dua pertemuan kelompok kerja dan wawancara tertutup yang melibatkan 118 perwakilan dari 49 organisasi.
Organisasi-organisasi ini termasuk lembaga pemerintah, organisasi multilateral, bank dan investor, dan pengembang proyek, perusahaan jasa keuangan, organisasi non-pemerintah (LSM) dan akademisi.
“Di sebagian besar kawasan Asia Tenggara, kurangnya keterhubungan infrastruktur terus menghambat industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tantangan seperti bencana alam dan kemacetan lalu lintas menjadi masalah, dan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Menjembatani kesenjangan infrastruktur memerlukan pendanaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan yang menunjukkan kelancaran modal untuk kepentingan kegiatan yang berkelanjutan dan responsif terhadap isu iklim sambil mencapai pertumbuhan,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post