ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perusahaan konsultan manajemen multinasional, McKinsey mengisyaratkan kebangkitan Asia sebagai motor penggerak ekonomi dunia. Indikatornya, konsumsi, modal, dan arus perdagangan melonjak drastis dalam 30 tahun terakhir.
Bahkan, dalam beberapa dekade mendatang, ekonomi Asia diperkirakan memimpin ekonomi dunia.
“Pertanyaannya bukan lagi seberapa cepat Asia akan bangkit, tetapi bagaimana Asia akan memimpin,” tulis McKinsey Global Institute: Asia’s Future is now yang dirilis Juli 2019.
Menurut catatan McKinsey, pada tahun 2000 Asia menyumbang hanya sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Namun, pertumbuhannya yang cepat mendorong potensi Asia mencapai 50 persen pada 2024 mendatang.
Pada periode tersebut, Asia juga diyakini akan berkontribusi sebesar 40 persen dari total konsumsi di dunia.
“Asia tidak hanya membuat kemajuan ekonomi, tetapi juga melangkah cepat dalam pengembangan manusia, dengan rentang hidup yang lebih panjang dan pengguna internet yang melonjak,” tulisnya.
McKinsey menilai kebangkitan Asia tersebut tidak cuma mengangkat ratusan juta orang dari jebakan kemiskinan, tetapi juga meningkatkan standar hidup masyarakat. Kendati demikian, McKinsey mengingatkan kantong kemiskinan dan tantangan pembangunan masih ada.
Laporan McKinsey itu dilakukan berdasarkan penelitian terhadap 71 negara berkembang. Sebanyak 18 negara di antaranya bahkan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan konsisten.
Beberapa negara Asia juga berhasil mendorong pendapatan masyarakat mereka naik kelas ke kelompok menengah.
Asia Ubah Kiblat Perdagangan Dunia
Masih dari Laporan’Asia’s Future is Now’ yang dirilis McKinsey Global Institute (MGI) pada Juli 2019, diungkapkan bahwa transformasi perdagangan dunia tak lagi berkiblat ke negara barat tetapi Asia.
Laporan tersebut mencatat produksi output global terus menanjak selama satu dekade terakhir. Namun, porsi produk yang diperdagangkan antar negara turun 5,6 persen. Barang-barang produksi Asia kini lebih banyak yang dikonsumsi di dalam negeri dibandingkan diekspor.
“Penurunan ini tidak mencerminkan sengketa dagang maupun sinyal perlambatan yang akan terjadi. Namun, ini mencerminkan perkembangan ekonomi yang sehat di China, India, dan negara berkembang lainnya,” tulis MGI dalam laporannya, dikutip Senin (22/7/2019).
Menurut MGI, seiring peningkatan konsumsi, produk yang diproduksi di dalam negeri lebih banyak diserap penduduk lokal dibandingkan yang diekspor ke luar.
Sebagai gambaran, selama periode 2007- 2017, produksi industri padat karya China melesat hampir tiga kali lipat yaitu dari US$3,1 triliun menjadi US$8,8 triliun. Di saat yang sama, porsi ekspor terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China merosot dari 15,3 persen menjadi 8,3 persen.
Kondisi serupa juga terjadi di India di mana porsi ekspornya juga makin lama makin mengecil dari 12,4 persen menjadi 8,5 persen.
Seiring meningkatnya kemampuan industri negara berkembang memproduksi barang-barang canggih, ketergantungan negara di kawasan Asia terhadap impor produk jadi maupun produk setengah jadi dari luar kawasan berkurang.
Tadinya, globalisasi ditandai dengan perusahaan dari negara-negara barat yang membangun rantai pasok ke penjuru dunia, seringnya ke Asia. Hal itu dilakukan demi mencari biaya upah terendah.
Namun, perbedaan upah kini semakin sempit. Saat ini, hanya 18 persen barang yang diperdagangkan melibatkan ekspor dari negara dengan upah rendah dibandingkan dari negara yang berupah tinggi.
Industri padat karya yang berorientasi ekspor merupakan mesin pendorong perekonomian China. Secara historis, pola serupa juga digunakan oleh negara miskin untuk menumbuhkan perekonomiannya.
“Namun, kesempatan untuk berkompetisi pada upah pekerja yang rendah semakin sempurna seiring kenaikan gaji di kawasan dan semakin luasnya penggunaan teknologi otomatisasi,” tulis MGI.
Di beberapa negara, peluang untuk mengambil untung dari rendahnya upah masih ada. Seiring kenaikan upah dan peralihan ke industri yang lebih bernilai tambah, porsi China terhadap ekspor barang-barang industri padat karya dunia turun 3 persen selama periode 2014-2017.
Sejumlah negara ingin mengambil peluang itu. Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan ekspor tahunan dari industri padat karya meningkat di Vietnam sebesar 15 persen, India 8 persen, dan Bangladesh 7 persen. Tren demikian dapat mengubah kota yang tadinya tidak dikenal menjadi pusat industri baru.
Satu dekade ke depan, upah pekerja yang rendah tidak cukup untuk menjadi modal daya saing. Pasalnya, daya saing akan sangat dipengaruhi oleh infrastruktur, keahlian tenaga kerja, dan produktivitas.
Tak ayal, rantai pasok industri saat ini sangat bergantung pada riset dan pengembangan serta inovasi.
Konsekuensinya, negara-negara di Asia harus mengalihkan prioritas investasi serta mengembangkan keahlian baru untuk berkompetisi dalam perdagangan yang lebih mengandalkan pengetahuan dan keahlian.
Sementara itu, perusahaan semakin fokus pada kecepatan untuk menjangkau pasar, meningkatkan koordinasi dan visibilitas rantai pasok. Hal ini akan sulit dicapai jika pemasok tersebar di seluruh penjuru dunia. Hasilnya, rantai pasok menjadi semakin pendek dan terlokalisasi. Perdagangan di dalam kawasan meningkat dibandingkan perdagangan antar kawasan.
Pada 2017, 52 persen porsi perdagangan Asia merupakan perdagangan intrakawasan, jauh lebih tinggi dibandingkan Amerika Utara sebesar 40,7 persen. Kondisi ini menunjukkan tren pemenuhan kebutuhan pasar di Asia dipenuhi oleh rantai pasok yang berada di dalam kawasan.
“Hal ini juga mengindikasikan lebih eratnya keterikatan perdagangan antara negara-negara di Asia, dengan ruang tumbuh yang masih besar,” ujar MGI.
Di sisi lain, sektor jasa saat ini menjadi penghubung perekonomian global. Bahkan, perdagangan jasa tumbuh 60 persen lebih cepat dibandingkan perdagangan barang.
Khusus untuk kawasan Asia, perdagangan di sektor jasa tumbuh 1,7 kali lebih cepat dibandingkan kawasan lain di dunia. India dan Filipina merupakan dua negara pengekspor jasa pendukung operasional perusahaan (back-office).
Kendati demikian, perdagangan jasa yang membutuhkan keahlian khusus masih berada pada tahap dini di sebagian besar negara di Asia. (Lis/AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post