ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri nikel di Indonesia lebih dominan dikuasai oleh China.
Data menunjukkan, peta industri nikel di Indonesia bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun terakhir. Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebesar 25 persen, PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) 19 persen dan perusahaan lainnya 3 persen.
Namun pada 2021, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO berkurang 22 persen, ANTM hanya 7 persen, dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) mengontrol 11 persen. Artinya, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing.
IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding asal China (66,25 persen) dan perusahaan lokal PT Bintang Delapan Mineral (33,75 persen). IMIP telah membangun smelter feronikel pertama melalui PT Sulawesi Mining Investment di Bahodopi, Sulawesi Tengah dengan kapasitas 300.000 ton per tahun. Smelter kedua dibangun PT Indonesia Guang Ching untuk memproduksi 600.000 ton feronikel per tahun.
“Jadi, hampir 70 persen tambang nikel di Indonesia dikontrol asing,” kata Peneliti Pada Alpha Research Database Ferdy Hasiman dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (17/9/2021).
Sementara itu ANTM hanya memiliki smelter feronikel di Pomala, Sulawesi Tenggara dengan kapasitas produksi 27.000 ton per tahun. ANTM saat ini tengah berharap penyelesaian pabrik feronikel di Halmahera Timur dengan kapasitas 13.000 ton per tahun.
Menurut Ferdy, dominasi perusahaan asing di tambang nikel membuat kedaulatan negara di sektor sumber daya alam diuji. Terlebih, saat ini sektor ini memiliki peluang besar seiring dengan perkembangan mobil listrik secara global.
“Indonesia seharusnya tidak bergantung pada perusahaan asing dalam mendorong pengembangan mobil listrik. ANTM mestinya menjadi penopang kebijakan mobil listrik,” imbuhnya.
Adapun saat ini Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar atau 27 persen berkontribusi untuk nikel dunia. Indonesia menyumbang 72 juta ton cadangan nikel dari 139.419.000 nikel dunia. Australia hanya menyumbang 15 persen, Brasil hanya 8 persen, Rusia 5 persen dan lainnya 20 persen. Itu artinya, Indonesia harus memiliki posisi tawar tinggi dalam pembangunan mobil listrik.
Prospek IBC
Lebih jauh, Ferdy Hasiman membeberkan, ekosistem industri kendaraan listrik Indonesia diperkirakan akan mampu bersaing dengan negara kompetitor seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China.
Menurutnya, sektor tambang di Indonesia telah memiliki Indonesia Battery Corporation (IBC), yakni gabungan empat perusahaan BUMN, PT Pertamina (Persero), PLN (Persero), Mind Id dan PT Aneka Tambang Tbk. (Persero).
Sejauh ini IBC telah ikut berkontribusi dalam pembangunan baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat yang akan dibangun perusahaan Korea Selatan, Hyundai, dan LG.
Ferdy menyampaikan prospek IBC ke depan didukung oleh kebijakan global dan nasional. Di level global, Amerika Serikat di bawah Presiden terpilih, Joe Biden akan menyediakan dana triliunan dolar untuk infrastruktur mobil listrik. China menargetkan 350.000 unit penjualan mobil listrik tahun 2025 dan Eropa menargetkan 300.000 unit mobil listrik tahun 2030. Sementara itu di tingkat nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat PP No.55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan.
“Penutupan ekspor nikel dan kewajiban membangun smelter juga adalah langkah strategis pemerintah mengamankan pasokan untuk pengembangan mobil listrik,” jelasnya.
Ia memandang hal ini penting karena ke depan produsen-produsen otomotif dipaksa beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Produsen otomotif besar, seperti Mitsubishi, Honda dan Toyota mulai menginvestasikan sekitar Rp100 triliun untuk pengembangan mobil listrik. Prospek masa depan IBC juga diperkuat oleh tren penjualan mobil listrik produsen-produsen mobil listrik di berbagai negara.
“Banyak analis dunia memperkirakan pasar mobil listrik dunia akan tumbuh USD53 miliar tahun 2025. Ini menjadi berkah bagi Antam dan Indonesia,” katanya.
Oleh karena itu, kebijakan untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir penting, mengingat Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar atau berkontribusi 27 persen secara global. (ATN)
Discussion about this post