ASIATODAY.ID, JAKARTA – Militer Myanmar atau Tatmadaw telah mengumumkan status darurat selama setahun. Hal ini disampaikan stasiun televisi milik militer usai penangkapan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.
“Militer mengatakan telah melakukan penahanan sebagai tanggapan atas kecurangan pemilu dan menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Min Aung Hlaing serta memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun,” demikian pernyataan di stasiun televisi milik militer Senin (1/2/2021).
Menurut Myawaddy TV, militer mengambil alih kekuasaan dengan alasan pemerintah sipil gagal menindaklanjuti klaim kecurangan pemilihan umum serta tidak menunda pemilu Myanmar meski ada pandemi virus corona.
Saluran telepon ke ibu kota Naypyitaw tidak dapat dihubungi dan TV pemerintah mati beberapa jam sebelum parlemen seharusnya rapat pertama kalinya sejak kemenangan pemilihan umum NLD pada November kemarin.
Sejumlah penduduk mengatakan tentara telah menduduki balai kota di kota utama Yangon. Selain itu jaringan internet dan telepon terganggu. Konektivitas internet juga telah turun secara dramatis, kata layanan pemantauan NetBlocks.
Penahanan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin lainnya terjadi setelah beberapa hari ketegangan yang meningkat antara pemerintah sipil dan militer Myanmar yang menimbulkan kekhawatiran akan kudeta setelah pemilihan.
Protes dan Kecaman
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengecam keras atas penangkapan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint, para pemimpin politik, dan aktivis HAM, pada pembukaan hari pertama parlemen baru Myanmar, 1 Februari 2021.
Dalam pernyataan tertulisnya, Wakil Indonesia untuk AICHR meminta agar militer Myanmar mematuhi norma-norma demokrasi dan menerapkan dialog damai dalam mencari solusi, termasuk menyelesaikan sengketa pemilu 8 November 2020.
“Sebagai anggota ASEAN, Myanmar berkewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip di Piagam ASEAN yang salah satunya setiap negara anggota harus mematuhi aturan hukum, pemerintahan yang barik, prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional (Pasal 2.2.(h)),” kata Wakil Indonesia untuk AICHR.
Yuyun Wahyuningrum mengatakan tindakan kudeta ini bukan hanya melanggar prinsip-prinsip ASEAN untuk pemerintahan yang konstitusional, tetapi juga merusak proses demokrasi Myanmar yang telah diusahakan sejak 2011.
Indonesia, Malaysia, dan Singapura, telah meminta agar pihak-pihak di Myanmar menahan diri dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan krisis politik.
Sementara itu, Brunei Darussalam, selaku Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengatakan saat ini masih sedang berkonsultasi dengan negara-negara anggota lain mengenai perkembangan kudeta Myanmar.
“Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN sedang berkonsultasi dengan Negara Anggota ASEAN lainnya tentang dukungan mereka untuk pernyataan ASEAN,” kata Kementerian luar negeri Brunei. (CNA /Reuters)
Discussion about this post