ASIATODAY.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani memproyeksikan defisit anggaran akan kembali membengkak lebih lebar.
Menurut Sri Mulyani, defisit anggaran pada 2020 diproyeksikan bisa mencapai 6,27 persen dari PDB, lebih lebar dari defisit pada Perpres No. 54/2020 yang mencapai 5,07 persen dari PDB. Secara nominal defisit anggaran meningkat dari Rp852,9 triliun menjadi Rp1.028,5 triliun.
Sri Mulyani menerangkan defisit ini disebabkan oleh pendapatan negara yang diproyeksikan terkontraksi -13,6 persen, turun dari anggaran sebesar Rp1.760,9 triliun menjadi tinggal Rp1.691,6 triliun.
“Ini karena banyaknya insentif pajak yang diberikan,” kata Sri Mulyani, Senin (18/5/2020).
Hasil penghitungan Kementerian Keuangan, total insentif pajak yang diberikan bakal mencapai Rp123,01 triliun yang terdiri dari penurunan PPh Badan, PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh Final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, diskon PPh Pasal 25 sebesar 30 persen, dan restitusi PPN dipercepat.
Dalam nominal tersebut juga terdapat rencana tambahan PPh Pasal 21 DTP dan cadangan stimulus lain masing-masing sebesar Rp14 triliun dan Rp26 triliun.
Belanja negara ditingkatkan sebesar Rp106,3 triliun dari Rp2.613,8 triliun menjadi Rp2.720,1 triliun.
Dalam peningkatan nominal belanja ini, pemerintah menghemat belanja barang dan modal sebesar Rp50 triliun dan ditambah belanja pegawai sebesar Rp12,4 triliun.
Dari situ, pemerintah memberikan tambahan kompensasi kepada PT PLN dan PT Pertamina masing-masing sebesar Rp38,25 triliun dan Rp37,83 triliun.
Dengan ini, total kompensasi kepada PT PLN mencapai Rp45,42 triliun dan kepada PT Pertamina sebesar Rp45 triliun.
Pemerintah juga memberikan tambahan stimulus fiskal antara lain subsidi bunga UMKM Rp34,2 triliun, diskon tarif listrik selama 6 bulan mencapai Rp3,5 triliun, penambahan bansos yang diperpanjang periodenya hingga desember mencapai Rp19,62 triliun, dan adanya cadangan stimulus sebesar Rp60 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan defisit anggaran masih akan melebar di atas 3 persen, tidak bisa diturunkan langsung sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara di bawah 3 persen dari PDB.
“Kalau dari defisit tinggi langsung rendah, itu belanjanya langsung di squeeze. Defisit akan gradual turun itu tentu sejalan dengan pemulihan ekonomi,” jelasnya. (ATN)
Discussion about this post