ASIATODAY.ID, JAKARTA – Hasil studi yang diinisiasi oleh UNICEF bekerjasama dengan UNDP, Kemitraan Australia Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (PROSPERA) dan the SMERU Research Institute dari bulan Desember 2020 hingga Januari 2021, mengungkap situasi mengkhawatirkan rumah tangga dan anak-anak di Indonesia.
Pasalnya, dari 2.400 rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi, 1 dari 2 di antaranya masih melaporkan adanya penurunan pendapatan di Bulan Januari 2021. Hal ini menunjukkan masih banyaknya rumah tangga yang belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan situasi “kenormalan baru”, sebagai akibat dari perubahan sosial dan ekonomi selama pandemi.
Laporan studi berjudul “Dampak Sosial dan Ekonomi Pandemi COVID-19 terhadap Rumah Tangga di Indonesia: Hasil dari Tiga Putaran Survei Pemantauan”, mengungkapkan bahwa masih terdapat kerentanan ketenagakerjaan, pekerjaan, pendapatan, kemampuan bertahan menghadapi guncangan, jangkauan perlindungan sosial, dan akses terhadap layanan kesehatan serta imunisasi.
Studi ini melibatkan wawancara menggunakan teknologi IVR (Interactive Voice Response) untuk meminimalkan risiko penyebaran COVID-19.
“Anak-anak terdampak pandemi secara tidak proporsional, dimana 70 persen rumah tangga dengan anak mengalami hambatan berkepanjangan dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Selain itu, 45 persen rumah tangga dengan anak kesulitan dalam memenuhi makanan bergizi cukup untuk anak-anak mereka”, ungkap Robert Gass Perwakilan UNICEF Indonesia (Ad Interim), Jumat (10/12/2021).
“Laporan hasil tiga putaran survei pemantauan cepat ini juga cukup jelas menemukan bahwa rumah tangga yang mendapat bantuan sosial dari pemerintah lebih mampu menahan guncangan ekonomi yang timbul selama pandemi,” imbuhnya.
Senada, Sophie Kemkhadze selaku Wakil Kepala Perwakilan UNDP Indonesia juga mengungkapkan bahwa studi ini memberikan petunjuk terkait dampak pandemi.
“Studi ini perlu menjadi perhatian bagi kita semua. Meskipun kita mungkin telah menyadari tantangan pandemi, hasil studi ini menggambarkan gambaran secara gambling dan jelas tentang apa yang dialami sebagian besar rumah tangga. Laporan ini menawarkan beberapa rekomendasi kebijakan, termasuk keberlanjutan bantuan sosial, terutama untuk keluarga yang memiliki anak, meningkatkan perlindungan pekerja dan memastikan akses ke fasilitas kesehatan, diantaranya,” jelasnya.
Sementara itu, Melissa Wells, Wakil Direktur Bidang Kerjasama, Kebijakan, dan Kinerja PROSPERA berbagi seperti apa kondisi pemulihan rumah tangga di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam laporan, dan menyatakan terima kasih kepada para mitra.
“Meski kondisi perekonomian semakin membaik, pemulihan sebagian rumah tangga bersifat rapuh dan tidak merata. Akses terhadap bantuan sosial yang tepat waktu dapat mengurangi risiko dampak negatif berkepanjangan bagi keluarga Indonesia”, terangnya.
“Keterlibatan dalam upaya bersama ini telah membantu kami untuk memahami lebih baik keterkaitan antara indikator perekonomian tingkat makro dan rumah tangga, serta bagaimana rumah tangga merespon kebijakan fiskal serta moneter. Kami menghargai kesempatan untuk bekerja sama dengan UNICEF, UNDP, dan the SMERU Research Institute.”
Menanggapi hasil survey yang disampaikan, Masyita Crystallin, Ph.D, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Kementerian Keuangan, melihat adanya kebutuhan akan studi lanjutan untuk melihat efektivitas bantuan perlindungan sosial.
“Dibutuhkan telaah lebih lanjut terkait skema perlindungan sosial yang lebih efektif dalam membantu masyarakat. Harapannya, survei selanjutnya dapat memberikan informasi yang lebih mendalam terkait bentuk dan mekanisme bantuan perlindungan sosial yang dapat memberikan efek berganda dan jangkauan yang lebih luas, selain besaran manfaat yang diterima masyarakat,” jelasnya.
Hal serupa disampaikan oleh Elan Satriawan, Ph. D, Kepala Kelompok Kerja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
“Melihat implementasi perlindungan sosial yang telah berlangsung, terdapat ruang perbaikan agar bantuan sosial dapat terus dilanjutkan dan diperluas. Beberapa hal yang dapat ditingkatkan juga mencakup perbaikan data penerima manfaat, kualitas mekansime distribusi bantuan agar lebih cepat dan tepat sasaran, serta momentum dalam pemberian bantuan sosial. Perlindungan sosial merupakan investasi dari sebuah negara bukan biaya. Semakin maju negaranya, semakin besar belanjanya”
Aprilia Pamuji selaku Koordinator Wilayah Eks-Karesidenan dan Anggota Forum Anak Nasional, mengatakan bahwa bantuan sosial yang dibutuhkan oleh anak sekolah dari pemerintah adalah pemberian kuota internet yang mencukupi untuk mendukung proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan juga perhatian terhadap kesehatan mental anak dan keluarga.
“Banyak di antara temanteman yang rentan terhadap KDRT dan terpaksa putus sekolah karena tidak mendapatkan bantuan yang cukup,” ungkapnya.
Aprilia menambahkan bahwa tidak semua daerah bias melaksanakan pembelajaran secara daring, karena terkait kendala jaringan internet yang kurang stabil.
Temuan Kunci dan Rekomendasi bagi Pembuat Kebijakan
Laporan Survei Pemantauan Tiga Putaran ini juga memberikan berbagai rekomendasi bagi pembuat kebijakan yang dikaitkan dengan analisa dari temuan survei. Terdapat enam poin yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan.
“Temuan utama dari studi ini adalah masih terjadi fluktuasi pendapatan, dimana dialami oleh 80 persen rumah tangga yang terus mengalami penurunan pendapatan dan disisi lain terjadi peningkatan pengeluaran, terutama untuk bahan makanan. Sekitar 45 persen rumah tangga yang memiliki anak terpaksa mengurangi porsi makan karena tidak mampu menyediakan pangan bergizi. Ini juga menyebabkan anak- anak balita terancam risiko stunting, wasting, dan gizi buruk,” kata Asep Suryahadi, Peneliti Utama SMERU Research Institute.
Asep melanjutkan, bahwa setidaknya satu anggota keluarga dari dua rumah tangga kehilangan pekerjaannya dan mereka tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai. Akibatnya, pendidikan bagi anak menjadi sebuah tantangan dan terjadi gangguan kesehatan karena sulitnya akses ke fasilitas kesehatan.
“9 dari 10 responden tidak memiliki akses internet yang baik untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ), terutama bagi rumah tangga dengan anak yang berlokasi di luar Pulau Jawa. Sementara satu dari empat rumah tangga kesulitan dalam memperoleh pengobatan bagi anaknya yang sakit. Ini juga ditambah dengan memburuknya tingkat kesehatan mental, yang umumnya dialami oleh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan,” tutur Asep.
Terdapat enam poin kebijakan yang diusulkan bagi para pembuat kebijakan yang relevan dengan situasi dan hasil temuan survei.
Pertama, bantuan sosial harus terus dilanjutkan dengan mengutamakan keluarga dengan anak.
Kedua, memadukan bantuan tunai dengan pemenuhan kebutuhan akses kesehatan dan pangan, sehingga pemenuhan gizi tercukupi dan terjadi peningkatan dalam kesehatan. Ketiga, mendorong perlindungan bagi pekerja dengan cara subsidi upah langsung, pelatihan, dan lainnya sehingga mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Selanjutnya, kebijakan untuk pembelajaran anak juga ikut kami tekankan, dengan pemberian bantuan pendukung program belajar kepada sekolah-sekolah agar mereka dapat dibuka kembali secara bertahap dan aman. Poin kelima yaitu dengan memperluas akses ke layanan kesehatan utama bagi anak untuk vaksin dan perawatan medis. Terakhir, memperluas layanan kesehatan mental, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak, yang dapat dijangkau walaupun masih berlangsungnya pembatasan sosial,” tutup Asep. (ATN)
Discussion about this post