ASIATODAY.ID, TOKYO – Pemerintah Jepang mencatat penurunan ekspor paling tajam pada April akibat pandemi coronavirus (Covid-19). Penurunan ini tercatat yang paling besar dalam 10 tahun terakhir.
Rendahnya permintaan luar negeri di tengah penutupan bisnis global menjadi salah satu faktornya.
Menurut Departemen Keuangan Jepang, ekspor dalam periode tersebut anjlok 21,9 persen dari tahun sebelumnya menjadi 5,20 triliun yen atau setara USD48,24 miliar. Ini menandai penurunan selama 17 bulan berturut-turut.
Data kementerian menunjukkan penurunan tersebut menandai penurunan paling tajam sebesar 23,2 persen sejak Oktober 2009, setelah krisis keuangan global.
Sementara impor turun 7,2 persen menjadi 6,13 triliun yen, menandai penurunan berturut-turut selama 12 bulan. Penurunan ini karena pembelian minyak mentah dan batu bara yang menurun di antara sumber daya energi lainnya.
Selain itu defisit perdagangan barang Jepang mencapai 930,40 miliar yen pada periode perekaman, dengan angka berubah negatif untuk pertama kalinya dalam tiga bulan.
Kemudian ekspor ke Amerika Serikat turun 37,8 persen menjadi 879,80 miliar yen, karena turunnya permintaan mobil dan mesin pesawat. Namun demikian impor dari Amerika Serikat naik 1,6 persen menjadi 698,63 miliar yen, yang mengarah ke defisit 181,17 miliar yen selama periode perekaman.
Selanjutnya ekspor ke China, mitra dagang terbesar Jepang, turun 4,1 persen menjadi 1,18 triliun yen. Angka ini menandai penurunan empat bulan berturut-turut.
Adapun impor dari China meningkat 11,7 persen menjadi 1,73 triliun yen, yang mengarah ke defisit perdagangan 552,60 miliar yen.
Sedangkan untuk seluruh Asia, termasuk China, ekspor turun 11,4 persen. Sementara impor naik 2,2 persen, dengan defisit mencapai 27,04 miliar yen pada April.
Ekspor ke Uni Eropa juga jatuh 28,0 persen pada April menjadi 483,51 miliar yen. Sedangkan impor dari blok mata uang tunggal itu turun 6,8 persen menjadi 674,68 miliar yen sehingga menghasilkan defisit 191,18 miliar yen.
“Tentu saja, kami tidak berpikir pandemi virus akan segera berakhir, jadi ada kemungkinan bahwa efek negatif akan berlanjut pada Mei,” kata seorang pejabat kementerian keuangan seperti dikutip dalam jumpa pers tentang masalah tersebut, Melansir Xinhua, Senin (25/5/2020). (ATN)
Discussion about this post