ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel sangat mempengaruhi kinerja perusahaan pertambangan, salah satunya perusahaan pertambangan bijih nikel, PT Ifishdeco Tbk (IFSH) yang beroperasi di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 tahun 2019, maka batas waktu terakhir untuk ekspor bijih nikel yakni akhir Desember 2019. Sehingga awal Januari 2020 para pengusaha sudah dilarang melakukan ekspor.
Manajemen PT Ifishdeco meyakini, kinerja emiten IFSH pada tahun 2020 akan menurun. Perusahaan memperkirakan laba bersih tahun depan akan turun dari proyeksi tahun ini sebesar Rp180 miliar.
“Bottomline kita tahun depan Rp134 miliar,” terang Direktur Keuangan Ifishdeco, Ineke Kartika Dewi, dalam keterangannya, Kamis (5/12/2019).
Menurut dia, jika peraturan tersebut tidak dimajukan, perusahaan sebenarnya bisa memperoleh kenaikan bottomline sebesar 7 persen.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Ifishdeco Christoforus Pranoto mengungkapkan, selama pemerintah melarang ekspor, penjualan akan diserap oleh lokal. Hal inilah yang menyebabkan penurunan karena margin yang diperoleh lebih mini.
Top line tahun depan, IFSH membidik Rp1,5 triliun. Angka ini naik 30 persen dari target akhir tahun 2019 yang dibidik diangka Rp1,2 triliun. Kenaikan ini didorong oleh penjualan nickel pig iron (NPI) dari smelter PT Bintang Smelter Indonesia yang akan mulai berproduksi kembali di 2020. Adapun smelter berkapasitas 40.000 ton itu sempat berhenti sebelumnya karena LME rendah.
Sampai dengan kuartal III, perusahaan telah mengantongi pendapatan bersih dan laba masing-masing 60 persen.
Usai melantai di bursa efek, emiten berkode saham IFSH ini menargetkan bisa mendapatkan laba hingga Rp134 miliar. Target laba ini sebenarnya lebih kecil bila dibandingkan dengan target laba pada tahun 2019 yang mencapai Rp 180 miliar.
Kendati demikian, Ifishdeco tetap optimis. Melalui Bintang Smelter Indonesia, Ifishdeco telah memiliki smelter untuk pengolahan dan pemurnian nikel dengan kapasitas 40.000 ton. Bahkan Ifishdeco tengah meningkatkan kapasitas produksi smelter tersebut.
“Saat ini kami sudah mulai membangun dua fasilitas menggunakan teknologi rotary kin electric furnace (RKEF) yang rencananya akan selesai pada 2021 mendatang. Saat ini kami sudah merampungkan kontrak dengan PLN terkait penyediaan listrik, jadi bisa segera dibangun,” jelas Christoforus.
Ifishdeco menggunakan 83 persen dari total dana yang didapat melalui penawaran umum yang mencapai Rp 187 miliar untuk membeli mesin RKEF. Sementara 17 persen sisanya akan dialokasikan untuk modal kerja.
Chrsitoforus menjelaskan, ekspansi ini diharapkan bisa menambah kapasitas produksi sebesar 120.000 ton.
“Kedepan kami optimistis perusahaan bisa semakin berkembang. Sebab harga jual nikel olahan memiliki margin yang lebih tinggi ketimbang bijih nikel. Selain itu, semakin meningkatnya produksi mobil listrik juga akan meningkatkan permintaan akan nikel olahan,” imbuhnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post